post image
kumpulan cerpen "Sagra" karya Oka Rusmini.
KOMENTAR

Sungguh mengerikan dilahirkan menjadi perempuan pada masa kolonial. Perempuan, baik anak-anak maupun dewasa, dipaksa menjadi budak seks tentara Nippon. Jugun Ianfu, begitulah panggilan yang disematkan pemerintah kolonial Nippon kepada perempuan pribumi yang mereka culik. Sebagai penulis dan sebagai perempuan, perilaku yang tidak manusiawi ini menjadi benang merah kumpulan cerpennya

Cerpen berjudul “Pesta Tubuh” mengankat latar pada sekitar tahun 1943-an, yakni pada masa penjajahan Jepang sedang jaya-jayanya. Pada waktu itu, banyak terjadi tindakan yang tidak manusiawi. Kaum laki-laki diperas tenaganya untuk program kerja paksa, sedangkan kaum perempuan dijadikan boneka pemuas nafsu. Oka dengan kemampuannya menyulap kata, mampu menghadirkan suasana mencekam pada masa kolonial dengan sangat baik.

Oka begitu pandai membuat pembaca larut dalam ceritanya. Saya sendiri sebagai laki-laki seolah dibuat menjadi perempuan ketika membacanya. Seolah merasakan kesakitan dan kengerian yang dialami oleh para tokoh perempuan dalam cerita. Dari judulnya saja, sudah menimbulkan kesan yang mesum sekaligus ngeri. Betapa tidak? “Pesta Tubuh” merupakan kata-kata yang terkesan vulgar bagi telinga orang-orang timur.

Lewat cerpennya ini, Oka seolah ingin menuntut keadilan kaum perempuan Bali yang tertindas, baik tertindas karena sistem kasta agana Hindu maupun tertindas karena perlakuan pemerintah kolonial Jepang. Begitu seringnya tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini mengalami penyiksaan seksual atas dirinya, mereka menggugat dan bertanya mengapa dirinya diciptakan sebagai perempuan. Karena dengan keindahan perempuan yang mereka miliki, tidak membawa kebahagiaan, malah membawa kesengsaraan. Setiap malam mereka harus melayani tentara Nippon yang tergiur oleh kemolekan dan keindahan tubuh mereka. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut.

Hyang Jagat! Hidup apa ini? Begitu menjijikankah tubuh perempuah? Sehingga untuk sebuah keindahan yang dicapkan di tubuhnya, seorang perempuan harus menanggung penyiksaan yang tak ada habisnya. Dengan apa harus kututupi tubuhku, Rimpig? Perempuan buta itu mengeluh sendiri. (Rusmini, 2001:56)

Perempuan disamakan dengan binatang yang tidak memiliki perasaan, hati, ataupun keinginan lebih. Perempuan  hanya dijadikan boneka pemuas nafsu saja. Pemuas nafsu yang tidak bisa melawan karena perempuan digambarkan begitu lemah dan tak beradaya. Bahkan, ketika perempuan sudah dianggap tidak bisa memenuhi hasrat seksual mereka, entah karena sudah tidak menarik ataupun karena mengidap penyakit seksual, maka perempuan itu dibunuh dan dibuang ke laut tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun. 

Perempuan mengalami pengasingan atas kualitasnya sebagai manusia. Perempuan tidak lagi memiliki kehormatan sebagai manusia dan tidak diperlakukan sebagai manusia. Oka merepresentasikan tokoh perempuan sebagai tokoh yang lemah adalah tidak lain karena maksudnya ingin mengundang simpati pembaca sekaligus menguras emosi pembaca. Lewat cerpennya ini, Oka mengungkapkan sudut pandang perempuan  Bali sebagai kaum yang tersubordinasi, sebagai korban sistem agama dan sistem pemerintahan.

Para sastrawan perempuan memang begitu intens membahas tema sesksualitas dalam karyanya ketimbang sastrawan laki-laki. Bahkan, mereka tidak segan-segan memasukkan kosa kata yang berasosiasi langsung dengan organ seksual yang selama ini dianggap tabu dan tidak sesuai dengan moralitas ketimuran. Begitupun dengan Oka Rusmini. Memang Oka tidak frontal seperti Djenar dalam penyebutan organ seksual perempuan. Oka lebih memilih kata yang lebih etis dan sopan yang tidak terlalu melenceng dengan nilai dan moral yang secara konvensional berlaku di masyarakat, tetapi tetap merujuk pada bagian tersebut. Misalkan penyebutan kata “Dada”, “Atas Paha”, dan “Selangkangan”.

Pilihan tema tubuh dan seksualitas ini memiliki argumentasi yang cukup logis. Tubuh dianggap sesuatu yang paling dekat dengan perempuan setelah seluruh bagian kehidupan menjadi milik laki-laki. Dengan tubuh, perempuan mengalami. Maka dari itu, lewat pengalaman kebertubuhan inilah, perempuan menyuarakan dirinya. Bahwa perempuan pun memiliki perasaan, memiliki hati, memiliki hak untuk hidup, dan memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia, sebagai subjek bukan objek.

Buku kumpulan cerpen “Sagra” karya Oka Rusmini ini cocok dibaca untuk pembaca tingkat lanjut dengan usia remaja. Saya tidak menyarankan buku ini dibaca oleh anak-anak dan remaja muda dengan rentang usia 10 sampai 17 tahun, sebab adegan dalam cerpen ini yang mengangkat tema kekerasan. Buku ini cocok untuk menjadi bacaan alternatif mahasiswa jurusan sejarah atau orang yang tertarik dengan sejarah, tetapi dengan sudut pandang yang lain.

KOMENTAR ANDA

Peringati Peristiwa G30S, Ini 5 Fakta PKI yang Perlu Diketahui

Sebelumnya

Bukan Cuma Perempuan, Saintis Ungkap Laki-laki Juga Bisa "Datang Bulan"

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Sains