post image
westernisasi anak Indonesia. (sumber foto: vox)
KOMENTAR

Sungguh enak dilahirkan di zaman modern ini. Siapapun, orang dewasa maupun anak-anak, bisa menuangkan pemikirannya lewat tulisan. Kebebasan berpendapat bukan lagi hal yang tabu pada zaman ini. Begitu pula dengan sarana dan prasarananya. Pemikiran yang dituangkan dalam tulisan tersebut dapat dengan mudah untuk diterbitkan dan disebarluaskan kepada masyarakat.

Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) merupakan salah satu sarana dan prasarana tersebut. KKPK adalah sebuah wadah untuk menampung ide dan gagasan kaum muda Indonesia. KKPK berisi cerita-cerita tentang kehidupan anak-anak dengan lingkungan sosialnya baik dengan 
keluarga, teman, maupun tetangga.

Sebagai suatu wadah karya sastra anak, KKPK memberikan ruang positif bagi anak-anak untuk dapat berkreasi khususnya dalam tulis-menulis cerita fiksi maupun nonfiksi. Dampak yang terlihat saat ini adalah semakin banyaknya anak yang gemar menulis dan membaca cerita yang sesuai dengan dunianya. Dengan demikian, dampak positif sungguh nampak dari adanya KKPK.

Zaman modern identik pula dengan globalisasi. Era globalisasi dengan maraknya interaksi antarkultural. Setiap sisi dunia disatukan dalam sebuah kampung global seiring dengan berkembang pesatnya teknologi, khususnya teknologi komunikasi. Terbukanya saluran dan akses komunikasi, terbuka pula kemungkinan interaksi antarkultural yang tidak terbatas. 

Hal itulah yang mendasari anak-anak dalam berkreasi. Mudahnya akses dengan dunia luar, baik internet maupun televisi, mempengatuhi pola pikir dasar anak-anak. Secara tidak langsung, anak-anak sudah terdoktrin pemikirannya dengan hal yang ia lihat dan ia dengar. Mengingat akses dengan dunia luar, baik internet maupunn televisi, didominasi Negara adikuasa. Sehingga bukan hal yang aneh bila internet maupun televisi selalu menyuguhkan hal-hal yang berbau kebudayaan barat.

Dengan pemikiran yang sudah tereduksi, anak-anak menuangkannya dalam sebuah karya. Karya anak dalam KKPK menceritakan kehidupan anak-anak dengan lingkungan sosisalnya yang sesuai dengan dunia anak, tetapi cerita yang ada dalam KKPK sebagian besar berisi 
kehidupan dunia modern yang hedonis dan sarat akan kemewahan.

Sebagai contoh, dalam satu karya sastra KKPK yang berjudul Kotak Susu Celly karya Marsya (11 tahun), isi cerita sebagian besar tentang kehidupan modern dan sarat dengan nuansa kemewahan. Anak yang dalam sudut pandang orang dewasa masih lugu dan belum menjangkau dunia yang jauh lebih dewasa dibanding usianya, dalam cerita tersebut tidak terlihat. Hal-hal yang terlihat justru pola pikir anak yang cukup dewasa dan kebarat-baratan. Kisah yang diceritakan pun sangat didominasi oleh kisah-kisah anak yang tak lepas dengan alat-alat komunikasi canggih seperti laptop dan iPhone. Selain itu, penamaan judul dari tiap-tiap cerita banyak menggunakan bahasa Inggris seperti My Blog, The Adventure, dan Let’s Go My Twitter, serta panggilan terhadap orang tua pun sangat kebarat-baratan seperti Mom dan Dad. Lebih jelasnya, lihat kutipan berikut.

“Aku melambaikan tangan. Hai Stevanie, hai Steve, hai Bill … And hai, Mom! Dad!” (Marsya, 2010: 53)

“Grandma … ini Marsya. Aku mau jenguk Grandma… Boleh, kan?” Dengan tulus, Marsya membelai rambut putih Grandma yang sedang tidur.” (Marsya, 2010: 97)

Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa unsur kebarat-baratan terlihat dari cara memanggil orang tua. Hal tersebut sangatlah berpengaruh terhadap anak-anak yang membacanya. Secara tidak langsung, anak akan mengikuti gaya dan pola hidup yang ada dalam cerita tersebut karena secara psikologis, anak akan mengikuti pola-pola yang ada dalam cerita yang mereka baca 
karena daya imajinasi anak yang masih kuat. Burhan (2010: 5) menjelaskan bahwa berbagai peristiwa dan alur cerita yang dikisahkan dalam karya sastra secara logika memiliki potensi untuk dapat terjadi di kehidupan masyarakat walau secara faktual-konkret tidak pernah ada dan terjadi. Karakteristik tersebut juda berlaku dalam karya sastra anak.

Dengan demikian, pengaruh besar dari KKPK tampaknya akan terjadi pada anak-anak yang membaca cerita tersebut. Sebagai karya sastra anak, KKPK sangatlah bagus untuk mengembangkana daya imajinasi anah, namun haruslah tetap dalam pantauan orang tua ketika membacanya.

Karya lain yang ada dalam KKPK adalah Little Ballerina karya Thia (11 Tahun). Jika dalam cerita Kotak Susu Celly terlihat unsur kebarat-baratan terhadap panggilan orang tua, dalam cerita ini, nama-nama tokoh yang ada sangat asing di telinga orang Indonesia. Nama-nama tersebut layaknya ada dalam cerita-cerita anak yang berada di daerah Eropa. Nama-nama tokoh yang sangat terlihat membuat siapa pun yang membaca akan merasa aneh karena antara cerita dan nama tokoh sangat tidak relevan. Nama-nama seperti Calline Hoona Emmody Rabellarotcha, Mrs. Vlarina, Rossie Jonitte Luciano, dan Miss Zhee ada dalam cerita tersebut. Perhatikan kutipan berikut!

“Dialah Calline Hoona Emmody Rabellaritcha. Dia adalah anak yang agak tomboi. Lho, lho, lho … Kok, namanya feminim banget?” (Thia, 2012:15)

Sekilas akan sangat asing dan aneh mendengar nama-nama tokoh yang sama sekali tidak keIndonesia-Indonesiaan. Pembaca khususnya anak-anak Indonesia akan dibawa pada kondisi kehidupan yang jauh dari kehidupan asli mereka. Walaupun daya imajinasi terus berkembang, tetapi akan cukup sulit untukmengembalikan pola pikir anak kembali seperti semula jika tanpa 
dibimbing oleh orang tua.

Selain itu, percakapan yang ada dalam cerita pun ada beberapa yang menggunakan bahasa Inggris, seperti dalam kutipan berikut.

“My Golden Children, please welcome our new friend in grade V-B. Calline Hoona Emmody Rabellarotcha! And, after this event, you will be free to go around here. But, you need to obtain permission from Mrs. Lollyred if you want to get out from here. Okay?”

Saxby (1991:4 dalam Burhan, 2010:5) mengemukakan bahwa jika citraan dan atau metafora kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah cerita itu berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak, buku atau teks tersebut dapat diklasifikasikan sebagai sastra anak yang baik.

Dengan demikian, jika memperhatikan kedua cerita yang ada dalam KKPK yang berjudul Kotak Susu Celly dan Little Ballerina, tampaknya kedua karya tersebut tidak sesuai dengan kondisi anak-anak Indonesia khususnya untuk anak usia di bawah 12 tahun karena bentuk kebahasaan dalam percakapan, penamaan tokoh, maupun pemanggilan terhadap orang tua, tidak relevan dengan kondisi kehidupan anak-anak yang ada di Indonesia saat ini. Walaupun sudah banyak anak Indonesia yang pandai berbahasa Inggris, tampaknya hanya khusus untuk anak-
anak yang ada di wilayah perkotaan, sedangkan KKPK sendiri sudah cukup luas pembacanya hingga di daerah-daerah kecil.

Pada intinya, KKPK merupakan satu gebrakan positif sebagai wadah karya sastra anak di Indonesia, namun dalam praktik kehidupan, anak-anak yang membaca karya-karya dalam KKPK harus tetap mendapat bimbingan dari orang tua.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual