post image
Bersama Prof Himendra Wargahadibrata (alm) tahun 2017 lalu. Mendengar itu bagian dari mencari ilmu pengetahuan dan bentuk cinta.
KOMENTAR

Konon, kita diberi dua telinga dan satu mulut sebagai tanda untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.  

Bagaimana kenyataannya? Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim riset Arizona University. Hasilnya adalah rata-rata manusia mengucapkan 16.000 kata per hari. Banyak banget ya?  😀😀. Studi ini juga menyimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara laki dan perempuan (gender) dalam hal banyaknya bicara. Banyaknya bicara lebih ditentukan oleh karakter individual (ekstrovert-introvert).  

Pertanyaan logis yang kemudian muncul adalah: Mengapa banyak orang suka sekali  bicara daripada mendengar? Meski untuk hal-hal yang tidak dia mengerti. Meski untuk hal-hal yang tidak baik. Meski untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Terlepas dari soal karakter dan profesi, ada beberapa kemungkinan mengapa banyak orang lebih suka bicara daripada mendengar. 

Pertama, krisis perhatian. Kedua, krisis eksistensi. Ketiga, belum selesai dengan masa lalunya. Keempat, ingin terlihat pintar. Terlihat tidak seimbang memang jika menilik kemungkinan-kemungkinan di atas. Seolah ada energi yang tidak utuh dan "ingin merebut" energi dari pendengar. 

Mendengar 

Mendengar itu adalah bentuk kerendah hatian. Orang yang belajar, orang yang mencinta, harus mendengar.  Tersebab mendengar secara aktif, berarti dalam proses mendengar ada bentuk perhatian, fokus, ada energi yang berlangsung. Orang yang rela untuk mendengar merupakan orang yang rendah hati. Suami atau istri yang sabar mendengar curhat atau curcol pasangannya berarti sedang menjalankan proses cinta-mencintai.

Mendengar itu bagian dari cinta. Menjadi pendengar yang baik berarti menjelma diri sebagai seorang pencinta.  Mendengar itu adalah bagian dari belajar-mengajar. Bisa menyerap dan memahami lebih banyak, termasuk hal-hal baru. Sedangkan berbicara, cenderung mengulang terus-menerus apa yang sudah kita tahu atau secuil yang kita tahu dan merasa seolah lebih unggul dibanding yang mendengar. 

Menjadi pendengar. Menjadi orang yang rendah hati. Menjadi seorang pencinta. Menjadi seorang yang ikhlas merelakan waktu, tenaga, energinya, fokus untuk mendengar. Seolah tidak heroik, memang, dibanding jika lebih banyak bicara. Seolah mendengar itu pasif dan hanya menjadi figuran. Sedangkan banyak bicara seolah subjek dan pemeran utama. 

Pendengar itu seolah tidak penting. Pembicara seolah lebih penting. Pendengar seolah tidak mengerti apa-apa. Pembicara seolah mengerti segala. Pendengar seolah hanya remah-remah rengginang. Pembicara seolah menu utama yang terhidang saat makan siang. 

Mendengar itu cinta. Maqam yang tinggi bagi pendengar adalah saat dirinya terlibat aktif dalam memperhatikan, memberi empati dan energi kepada teman bicaranya. Itu sebabnya mendengar juga menguras energi. Itu pula sebabnya ada saat-saat kita suka ngobrol dengan orang, karena energinya "hadir" dalam bentuk perhatian dan empati. Memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibicarakan dan memberi feedback secara proporsional. Menjadi pendengar yang baik tak semudah yang dibayangkan. Karena juga membutuhkan kesadaran dan kesabaran.  

Kita diberi dua telinga. Gunakan sebaik-baiknya, sebermanfaat-manfaatnya. Kita dapat berbuat baik dan membantu orang dengan menggunakan telinga. Menyediakan dua telinga untuk mereka yang butuh didengarkan,  merupakan sebuah kebaikan juga, bukan? Dan orang yang butuh didengarkan, jumlahnya sangat banyak.  Termasuk mereka yang ada di sekeliling kita, yang dekat dengan kita.  

Selamat mendengarkan.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual