Abstrak
Akhir-akhir ini masyarakat kerap dikelirukan dengan definisi dari kawih, tembang, dan cianjuran. Tak jarang istilah kawih didikotomikan dengan istilah tembang, atau istilah tembang disamakan artinya dengan cianjuran. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna dari kawih, tembang, dan cianjuran. Metoda yang dilakukan adalah menelaah dari paparan makna ketiga istilah dari beberapa sumber dengan membandingkan dari sumber-sumber lain yang juga memaparkan ketiga istilah tadi. Hasil yang diperoleh adalah masyarakat sudah terlalu jauh memaknai dengan definisi yang kurang tepat. Kekeliruan ini bahkan berlaku pula pada dunia pendidikan, baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi.
Kata kunci: kawih, tembang, tembang sunda, cianjuran, tembang sunda cianjuran
Abstract
Lately many people often mistakenly define of kawih, tembang, and cianjuran. Quite often the term of kawih is dichotomized by the term of tembang, or the term of tembang has the same meaning as the cianjuran. This study aims to describe the meaning of kawih, tembang, and cianjuran. The research method is conducted by examining the meaning of kawih, tembang, and cianjuran from several sources, then comparing with other sources. The results obtained are that the community has mistakenly interpreted the three terms above. This mistake even applies to the educational instutions, both in high school and in college.
Keywords: kawih, tembang, tembang sunda, cianjuran, tembang sunda cianjuran
Pendahuluan
Hingga saat ini kerap terjadi kekeliruan penggunaan istilah kawih dan tembang di kalangan masyarakat luas, terlebih dalam pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Kekeliruan yang dimaksud adalah pengertian yang menyebutkan bahwa kawih merupakan kebalikan dari tembang, juga sebaliknya. Cara mengartikannya pun kemudian dinegasikan, bahwa kawih sebagai materi lagu yang memiliki irama tandak (terikat, memiliki aturan serta memiliki ketukan yang konstan), sedangkan istilah tembang diartikan sebagai materi lagu yang memiliki irama merdeka (bebas, tidak memiliki aturan atau tidak memiliki ketukan yang konstan).
Kondisi ini berimbas pada pengistilahan cianjuran. Di masyarakat istilah cianjuran sering disamakan maknanya dengan tembang. Tidak jarang pengertian cianjuran pun disamakan dengan tembang Sunda, juga dengan tembang sunda cianjuran. Padahal masing-masing istilah tersebut; tembang, tembang sunda, tembang sunda cianjuran, dan cianjuran memiliki makna serta silsilahnya masing-masing. Kenyataan seperti ini jelas harus diluruskan dan didudukkan berdasarkan teori yang ada.
Metode
Dalam tulisan ini, metode yang dikerjakan adalah metode analisis dengan cara menghimpun beberapa pengertian istilah dari kawih, tembang, dan cianjuran dari berbagai sumber untuk kemudian ditelaah isi dari pengertian masing-masing materi. Pengertian dari istilah-istilah yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis berdasarkan referensi yang dianggap mutakhir dan lebih komprehensif.
Kegiatan penghimpunan pengertian dilakukan dengan menelusuri pengertian istilah-istilah terkait dari pustaka yang dianggap sebagai babon, atau referensi kahot yang merupakan sumber klasik yang bersifat primer. Sumber yang dimaksud adalah naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (SSKK) yang dikutip dari buku ‘Sewaka Darma, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Transkripsi dan Terjemahan’ (1987) yang ditulis Saleh Danasasmita dkk. Pada naskah Sunda kuno tersebut dibicarakan tentang istilah ‘Kawih’. Istilah ini, dianggap sebagai istilah klasik yang dianggap primer, karena mengandung sumber pengetahuan yang menjadi sumber referensi utama. Sumber primer pada naskah SSKK itu diambil dari Bagian XVI yang berbunyi:
Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, perararane, porod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih tungtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma, paraguna tanya.
(Bila ingin tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, perararane, porod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih tungtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan; segala macam lagu, tanyalah paraguna).
Dalam data sumber primer tersebut kemudian dibandingkan dengan pengertian istilah yang sama dari sumber yang berbeda, baik sumber tertulis maupun sumber lisan yang tersebar di masyarakat. Demikian pula untuk menelusuri istilah tembang dan istilah Cianjuran. Ada beberapa buku, artikel hasil dari penelitian yang menyodorkan pengertian dari kedua istilah tersebut. Untuk pengertian istilah tembang, penelitian ini menggunakan buah pikiran Satjadibrata seperti yang tertuang pada buku Rasiah Tembang Sunda (1953).
Menurut Satjadibrata istilah tembang berkaitan erat dengan urusan pupuh, guguritan, dan lagu yang kemudian disebutnya sebagai trimurti atau telu-teluning atunggal (Satjadibrata, 1953: 10). Istilah tembang itu sendiri merupakan kata benda, yang memiliki arti lantunan lagu yang menggunakan teks yang ditulis dengan aturan pupuh.
Mengenai istilah pupuh, Satjadibrata menyebutkan sebagai aturan untuk membuat dangding (1953:11). Apa yang dikemukakan Satjadibrata dalam bukunya kemudian dibandingkan dengan beberapa referensi yang terdapat pada buku-buku lain, artikel, serta pandangan-pandangan yang tersebar di masyarakat.
Baik pengertian kawih maupun tembang, atau istilah cianjuran, selanjutnya dibandingkan, ditelaah, dan dianalisis untuk memperoleh pengertian yang mendekati ke arah ideal, yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hasil dan Pembahasan
Komarudin pernah mencoba mengurai peristilahan kawih dan tembang melalui artikelnya berjudul ‘Menelusuri Pengertian Istilah Kawih dan Tembang dalam Karawitan Sunda’ dalam Jurnal Panggung Nomor XVIII April 2001 (49-54). Menurutnya, hingga saat itu (2001) istilah kawih dan tembang belumlah ajeg, dan sering diterapkan secara keliru dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya, melalui artikel tersebut, Komarudin menyebutkan kedua istilah tersebut harus didudukkan pada lokusnya masing-masing, serta menyarankan diadakannya saresehan atau seminar untuk membahas permasalahan-permasalahan tersebut.
Merujuk pada anggapan Komarudin, hingga kini istilah kawih dan tembang kerap didikotomikan; bahwa kawih kebalikan dari tembang, dan sebaliknya. Istilah kawih lebih mengarah kepada lagu-lagu yang memiliki irama tandak (teratur) dan konstan seperti lagu ‘Dalingding Asih’ ciptaan Ubun R. Kubarsah, ‘Imut Malati’ ciptaan Mang Koko, atau lagu ‘Es Lilin’ gubahan Bu Mursih, sebagaimana yang terdengar pada kawih degung, kawih kacapian, dan pop Sunda. Sedangkan istilah tembang lebih mengarah kepada lagu-lagu yang memiliki irama rancag, bebas (tidak teratur, tidak memiliki ketukan konstan) sebagaimana yang terdengar pada lagu-lagu ‘poko’ [1] cianjuran.
Bisa jadi pemahaman tersebut bermuara pada definisi yang dituliskan oleh Atik Sopandi dalam ‘Kamus Istilah Karawitan Sunda’ (1985). Dalam bukunya itu, Atik menyebutkan bahwa kawih memiliki irama konstan dan teratur, sedangkan tembang memiliki irama bebas.
Keterangan Atik tersebut akan sangat tampak pada struktur runtuyan (rangkaian) performa seni cianjuran yang terdiri atas lagu poko dan lagu panambih. Lagu poko memiliki pola irama merdeka atau bebas, sedangkan lagu panambih memiliki pola irama terikat dan teratur. Pada prakteknya, lagu poko dilantunkan terlebih dahulu, dan kemudian disusul dengan lagu panambih. Seperti halnya rangkaian lagu Liwung, Bayubud, serta Renggong Gede.
Lagu Liwung dan Bayubud merupakan lagu poko, berirama bebas, dan ditempatkan sebelum lagu Panambih; sedangkan lagu Renggong Gede adalah judul lagu panambih, berirama konstan, dan ditempatkan atau dilantunkan setelah lagu poko.
Kekeliruan yang kerap terjadi di masyarakat adalah, terhadap lagu poko dalam cianjuran sering menganggapnya sebagai tembang. Hal tersebut karena lagu poko tersebut memiliki irama merdeka. Sedangkan terhadap lagu panambih, masyarakat kerap menyebutnya sebagai kawih, karena memiliki pola irama tandak.
Anggapan umum di masyarakat luas tersebut jika disederhanakan maka akan menjadi sebuah pernyataan bahwa kawih memiliki irama tandak (terartur), sedangkan tembang memiliki irama bebas-merdeka. Atau dengan kata lain, ‘kawih’ adalah kebalikan dari ‘tembang’. Juga sebaliknya, ‘tembang’ merupakan lawan kata dari ‘kawih’. Dan inilah sesungguhnya yang harus ditelusuri, dikaji ulang, serta diluruskan.
Sejatinya, istilah kawih dan tembang bukan ditengarai oleh karena yang satu merupakan lagu berirama merdeka dan yang lainnya merupakan lagu berirama konstan, namun ditengarai dengan silsilah serta latar belakangnya masing-masing. Di dalam kawih mengenal lagu berirama merdeka dan berirama konstan, demikian pula dalam lagu-lagu tembang, ada yang berirama merdeka dan ada yang berirama konstan.
Kawih
Setidaknya istilah kawih muncul pada naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (SSKK, 1518 M). Seperti yang diungkapkan Saleh dkk. (1987) istilah ‘kawih’ yang terdapat dalam naskah SSKK diduga kuat memiliki arti sebagai seni suara khas Sunda di mana di dalamnya terdiri atas berbagai jenis lagu.
Sayang, jenis serta bentuk kawih-kawih yang tertulis pada naskah SSKK tersebut tak lagi dikenali. Hanya saja, sebagaimana yang diungkapkan Ayatrohaedi (Makalah, 1998:4), beberapa kawih bisa ditelusuri ihwal amsalnya, semisal kawih sisindiran yang dicurigai sebagai lagu yang bersumber pada sisindiran (puisi pantun dalam sastra Indonesia), kawih sasambatan yang dicurigai sebagai lagu bertemakan kepedihan hati hingga harus nyambat (merajuk, memohon) sambil terisak dan menghiba.
Yang patut digarisbawahi di sini adalah, melalui naskah SSKK, terdapat keterangan bahwa hingga tahun 1518 M (abad XVI), masyarakat Sunda telah memiliki materi seni suara atau nyanyian yang dinamakan kawih. Dua naskah Sunda kuno lainnya Kawih Pangeuyeukan (Kropak 407) dan Kawih Paningkes (Kropak 419) yang oleh para ahli diperkirakan ditulis pada kisaran abad XVI, bahkan dalam judulnya telah menyebutkan istilah ‘kawih’.
Bahkan pada naskah Kawih Pangeuyeukan yang kemudian diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Repiublik Indonesia dalam bentuk buku berjudul ‘Kawih pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda dan Teks-teks Lainnya’, disebutkan bahwa teks naskah kuno tersebut pada masa lampau diduga sudah biasa dinyanyikan (2014: 6). Dengan kata lain, istilah ‘kawih’ dalam naskah Sunda kuno memiliki arti lagu atau nyanyian, atau teks puisi untuk dinyanyikan.
Sejalan dengan uraian di atas, Wim van Zanten (1989:15) menuliskan bahwa masyarakat Sunda zaman dulu telah mengenal lagu atau nyanyian yang disebut dengan istilah ‘kawih’. Sementara itu sastrawan Sunda yang juga sangat mengerti seni karagunan, MA Salmun, dalam Musyawarah Tembang Sunda 1962 menyebutkan nyanyian yang biasa dilantunkan pada seni pantun sebagai kawih pantun (Sukanda, 1990: 12). Kawih pantun sendiri merupakan golongan kawih kolot (lagu orang dewasa) di samping kawih dalam dongeng, kawih untuk menimang, kawih kamonesan, dan kawih roronggengan.
Yang sangat menarik adalah apa yang oleh MA Salmun disebut sebagai ‘kawih pantun’. Yang dimaksud kawih pantun adalah lagu pada seni pantun terutama pada bagian rajah pamuka, nataan, serta rajah pamunah. Baik rajah pamuka, maupun bagian nataan, serta rajah pamunah jika ditransliterasi akan jelas terlihat berbentuk puisi (oktasilabik). Sang juru pantun, dalam melantunkan ketiga bagian tersebut menggunakan lagu berirama merdeka, terbebas dari ketukan yang konstan. Sekali lagi, terhadap lagu pada seni pantun tersebut MA Salmun menyebutnya sebagai kawih pantun, di mana kontur melodinya memiliki pola musikal irama merdeka.
Selain kawih pantun, kawih-kawih peninggalan leluhur masyarakat Sunda yang berirama merdeka adalah beluk. Beluk itu sendiri sejatinya adalah teriakan yang melengking. Dalam tradisi masyarakat Sunda, beluk digunakan di saat seseorang yang tengah bekerja di ladang atau di hutan (Sukanda, 1975:12). Untuk mengetahui apakah seseorang yang tengah berada di ladang atau di hutan tersebut masih berkawan atau sendirian, maka seseorang itu akan berteriak dengan suara melengking sebagai kode.
Biasanya teriakan yang melengking itu memiliki nada-nada atau struktur melodi yang khas. Jika kebetulan seseorang itu masih berkawan, maka sang kawan akan menyahutinya dengan teriakan melengking pula. Teriakan melengking yang memiliki nada-nada serta kontur melodi yang khas tersebut kemudian berkembang dan dibubuhi nilai estetika berupa kontur melodi yang lebih sempurna (Hendrayana, 2012).
Maka menjelmalah teriakan melengking tersebut menjadi komposisi melodi yang lebih utuh bernilai musikal. Itulah beluk.
Contoh lantunan dengan menggunakan gaya beluk yang lebih tegas akan terdengar (diterapkan) dalam komposisi melodi (non verbal) lantunan ‘ngawuluku’ (membajak sawah), di mana sang pembajak sawah akan melantunkan melodi-melodi tersebut secara bebas dan penuh improvisasi; memiliki struktur melodi berirama merdeka. Gaya lantunan beluk juga kerap diterapkan pada lantunan kawih pantun dan tembang wawacan[2] (Hendrayana, 2016: 24).
Dalam perkembangannya, selain terdapat kawih yang ada dan berkembang hingga abad XVIII, maka muncullah kemudian seni suara baru, yakni pupujian dan tembang. Yus Rusyana (dalam Rosidi, 2011:89) menyebutkan bahwa kawih pupujian adalah lagu masyarakat Sunda yang berupa puja-puji kepada Allah Swt., do’a dan permohonan tobat, sholawat kepada rosul-Nya, memohon safaat kepada rosulullah, nasihat, serta pengajaran keagamaan. Rosidi (2011:90) menyebutkan lagu pupujian banyak berupa syair dan biasa dilantunkan di mesjid-mesjid dan pesantren; pupujian ini merupakan pengaruh Islam di mana pada abad XVII di wilayah Sunda mulai berdiri masjid-mesjid dan pesantren.
Setelah pupujian, kemudian muncul pula kawih baru yang disebut dengan tembang sekitar abad XVIII. Jika kawih pupujian merupakan lagu yang teksnya merupakan syair-syair dari bangsa Timur-tengah, maka kawih yang berbentuk tembang adalah lagu yang menggunakan aturan pupuh; lagu ini merupakan pengaruh dari Mataram. Dan itu biasanya dilantunkan dalam pembacaan naskah wawacan (Rosidi, 2011:11). Tentang keberadaan wawacan ini, Nina H. Lubis (1998: 239), menyebutkan bahwa tradisi wawacan sangat popular di akhir abad XIX dan awal XX, bahkan bentuk wawacan ini dianggap sebagai puncak cita-cita kesusastraan Sunda yang paling indah. Dan pada masa-masa itu pulalah tradisi tembang atas naskah wawacan cukup populer di wilayah Jawa Barat, dan terutama di wilayah Kabupaten Cianjur (Sukanda, 1990: 12).
Hingga pertengahan abad XIX, masyarakat Sunda maka telah mengenal jenis-jenis kawih seperti kawih sisindiran, kawih pantun, kawih beluk, kawih kaulinan, kawih pupujian, serta kawih tembang. Jenis-jenis kawih Sunda yang berkembang hingga saat ini sudah begitu banyak. Pembeda dari berbagai jenis tersebut bisa jelas terlihat di antaranya dari alat musik yang mengiringinya. Maka dikenallah kawih degung, kawih celempungan, kawih kacapian, kawih calung, kawih reog, kawih jaipongan, hingga kawih pop Sunda.
Dalam perkembangannya, kerap kali ditemukan ada materi kawih degung diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Cinta’ karya Nano S; ada lagu kawih kacapian yang diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Dalingding Asih’ karya Ubun Kubarsah; ada juga lagu dari kawih kliningan yang kemudian diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Bangbung Hideung’. Ataupun sebaliknya, lagu ‘Ulah Ceurik’ karya Oon B yang kita kenal sebagai lagu pop Sunda kemudian diadopsi menjadi lagu kliningan (album ‘Ulah Ceurik’ dengan sinden Uun, produksi Jugala Recording).
Tembang
Nyaris di setiap media massa, para jurnalis kerap keliru mendudukkan istilah tembang. Tak jarang para jurnalis menuliskan tembang untuk seluruh materi lagu Sunda. Para jurnalis tersebut boleh jadi mengunduh istilah ‘tembang’ yang berlaku pada musik Indonesia, semisal penggunaan istilah ‘tembang kenangan’ untuk lagu-lagu bernuansa nostalgia; atau dalam penggunaan frasa ‘tembang-tembang hit’ untuk lagu-lagu populer mutakhir (Komarudin, 2001). Istilah ‘tembang’ yang dimaksud jelas merujuk pada lagu, apapun jenisnya itu.
Merujuk pada apa yang ditulis Ajip Rosidi (1982:55), materi tembang bukanlah asli milik masyarakat Sunda. Materi ini merupakan kiriman dari Mataram saat invansi ke tatar Sunda pada abad XVII. Materi ini berbentuk aturan puisi yang disebut pupuh. Pupuh yang dikenal di masyarakat Sunda terdiri atas 17 aturan, di mana masing-masing aturan memiliki nama tersendiri yang kita tahu sebagai Asmarandana, Kinanti, Magatru, Mijil, Dangdanggula, Sinom, dan sebagainya. Di Jawa, pupuh hanya terdiri atas 15 (lima belas) jenis saja, sedangkan di Bali hanya dikenal 10 (sepuluh) pupuh saja.
Dalam Kamus Umum Basa Sunda LBSS (1985:521), ditulis bahwa ‘tembang, lemesna sekar, basa dangdingan make aturan pupuh. Nembang, lemesna mamaos, ngalagukeun tembang’. Sementara itu dalam Kamus Sacadibrata (2004) dituliskan ‘tembang, nembang (mamaos [3]) ngalagu nurutkeun aturan pupuh (menyanyi berdasarkan lirik yang menggunakan aturan pupuh: Sinom, Asmarandana, dst)’. Sedangkan Kamus Danadibrata (2004) menuliskan bahwa ‘tembang, lagu jelema dina pupuh’ (nyanyian manusia yang menggunakan teks dengan aturan pupuh).
Dalam khazanah sastra Sunda, Ruhaliah (2019:69) menyebutkan guguritan sebagai puisi yang berupa ungkapan hati seperti rasa gembira, asmara, kenangan, kesedihan, amarah dan ditulis dengan manggunakan aturan pupuh. Jika guguritan adalah puisi (dangding) yang ditulis dengan aturan pupuh untuk mengekspresikan perasaan hati, maka wawacan adalah puisi dangding yang ditulis untuk menceritakan kisahan atau mendeskripsikan atau menguraikan suatu bahasan (Ruhaliah, 2018:10). Pupuh, atau aturan menulis dangding, yang terdapat dalam khazanah sastra Sunda terdapat 17 (tujuh belas), yakni Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Mijil, Pangkur, Durma, Gurisa, Gambuh, Ladrang, Lambang, Maskumambang, Balakbak, Magatru, Pucung, Wirangrong, dan Jurudemung.
Dari pengertian tembang yang diambil dari ketiga kamus bahasa Sunda tadi, diperoleh gambaran bahwa yang dimaksud tembang adalah lagu yang menggunakan lirik berbentuk dangding (puisi Sunda yang ditulis menggunakan aturan pupuh, terdiri atas dua jenis yakni wawacan dan guguritan). Artinya jika ada lagu yang menggunakan lirik dari wawacan atau guguritan, maka serta-merta lagu tersebut disebut tembang.
Tradisi tembang bagi masyarakat Sunda baru populer setelah Pajajaran runtuh dan terkena pengaruh Mataram (Sumardjo, 2011:108). Budaya membaca terhadap naskah wawacan tentu saja merupakan pengaruh Mataram, setelah kesultanan Mataram di era Sultan Agung merangsek ke wilayah pulau Jawa bagian Barat di pertengahan paruh pertama abad XVII.
Pada prakteknya, materi tembang ada yang memiliki irama merdeka, ada juga yang memiliki irama tandak. Demikian halnya dengan materi kawih, yang secara kodrati memiliki komposisi musikal irama tandak dan irama merdeka.
Materi tembang yang berirama tandak di antaranya seperti yang bisa kita temui pada lagu panambih Cianjuran, yakni lagu yang berpupuh Kinanti Campaka, Ditilar, Soropongan, Sukingki, Lembur Singkur, Padepokan, Padesan, Kapigandrung, Panembrama, Tablo, Panineungan, Gaya Sari, Duh Asih, Ceurik Abdi, dll; Asmarandana Candana, Duda, Lumengis, Midangdam, Panglejar, Puspawangi, Sungkawa Manah, Lara-lara, Haliwawar, Kasawang, Kumalayang, dll; Sinom Rénggong Gedé, Puspawana, Gandrung Gunung, Bulan Pangharepan, Iraha, Karang Gantung, Lalagasan, Pageuh Tekad, Toropongan, Muntang Ngeumbing, Pangrumat, Sangkuriang, dll; Dangdanggula Gunung Putri, Méga Malang, Déwi Asri, serta Udeg-udeg. Bahkan lirik lagu kawih kacapian ‘Wengi Enjing Tepang Deui’ karya Mang Koko (lirik Tatang Sastrawiria) menggunakan pupuh Kinanti.
Tembang Sunda
Istilah ‘tembang Sunda’ merujuk pada tembang yang ada di masyarakat Sunda. Dalam etnografi atau etnologi, label ‘Sunda’ yang disematkan di belakang variabel tembang, mesti dibaca sebagai pembeda dari ‘tembang Jawa’ dan ‘tembang Bali’ (Hendrayana, Tribun Jabar, 2015). Sebagaimana kita ketahui, di masyarakat Bali dan terutama Jawa, dikenal pula entitas sastra (lagu, sekar) yang bernama pupuh (Soeharto dalam Zanten, 1989:16).
Sedikitnya, masyarakat Sunda mengenal dua materi tembang Sunda; yakni tembang ciawian, dan tembang cigawiran. Tembang Ciawian adalah lagu pasantrenan dari daerah Ciawi Tasikmalaya, sedangkan tembang cigawiran adalah lagu pasantrenan dari daerah Limbangan Garut. Baik tembang ciawian maupun tembang cigawiran keduanya merupakan lagu di lingkungan pesantren dengan bersumber pada materi pupuh (dangding), baik wawacan maupun guguritan. Keduanya dibedakan oleh lagam dan gaya.
Tembang Sunda Cianjuran
Istilah ‘tembang sunda Cianjuran’ merujuk pada lagu-lagu ‘tembang Sunda’ yang berada dalam seni Cianjuran. Dan lagu-lagu inilah yang akan merujuk pada materi wanda Rarancagan dan wanda Dedegungan, karena kedua jenis (wanda) materi lagu tersebut sama-sama menggunakan teks berbentuk pupuh (Hendrayana, 2015).
Selain wanda Rarancagan dan wanda Dedegungan, lagu poko dalam cianjuran terdiri atas lagu-lagu wanda Papantunan (dan Jemplang), serta Kakawen. Baik lagu wanda Papantunan maupun wanda Kakawen, keduanya tidak menggunakan teks berbentuk dangding (pupuh); wanda Papantunan menggunakan puisi pantun, sedangkan wanda Kakawen menggunakan puisi sekar Kawi. Karenaya, baik wanda Papantunan dan wanda Kakawen tidak bisa disebut sebagai sebagai ‘tembang Sunda Cianjuran’, karena keduanya tidak menggunakan teks berbentuk pupuh.
Cianjuran
Cianjuran, adalah seni suara khas Sunda yang hidup hingga sekarang. Seni cianjuran tercipta atas olah kreatif sang Bupati Cianjur R.A.A. Kusumaningrat yang memerintah Kabupaten Cianjur pada 1834-1862 M. Sang bupati mengolah seni suara (yang di kemudian hari disebut cianjuran) tersebut dari kawih pantun [4], yakni nyanyian yang terdapat dalam pertunjukan seni pantun.
Hasil olahan kawih pantun tersebut di kemudian hari disebut sebagai lagu Papantunan dalam seni cianjuran. Dengan kata lain, kawih pantun merupakan bagal (cikal bakal) seni cianjuran seperti yang dikenal pada saat ini. Adapun cerita pantun yang dijadikan sumber penciptaannya adalah cerita Mundinglaya di Kusumah.
Sejak terbentuknya lagu papantunan di paruh kedua abad XIX tersebut, materi seni suara khas daerah Cianjur ini telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hingga tahun 1930-an, materi seni suara khas Cianjur setidaknya telah memiliki 6 (enam) wanda (jenis) yakni Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih (Sukanda, 2016: 23). Keenam materi ini, menjadi penanda bahwa seni cianjuran memiliki berbagai jenis dengan latar belakang serta silsilahnya masing-masing hingga memunculkan pembedanya secara mandiri di antara jenis-jenis tersebut.
Wanda Papantunan merupakan wanda yang pertama kali tercipta dalam pembentukan seni cianjuran. Dikreasikan oleh R.A.A. Kusumaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Kangjeng Dalem Pancaniti, dari alunan kawih pantun. Sebetulnya, penamaan wanda Papantunan baru diberlakukan sekitar tahun 1950, di saat masyarakat pecinta dan peminat cianjuran mulai menggeliat kembali setelah masa vacuum akibat zaman pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan. Adapun yang memberikan nama ‘Papantunan’ adalah para pengamat atau para pemikir dari masyarakat peminat cianjuran.
Masyarakat Cianjur sendiri, terutama mereka yang hidup di dalam Pendopo dan sekitarnya, menyebut materi yang dikreasikan oleh R.A.A. Kusumaningrat ini sebagai Kawih Pantun, atau Lagu Pantun, atau Pantun saja, atau Lagu Pajajaran (Sukanda, 1990:23).
Pada awal kemunculannya, materi kawih papantunan ini biasa dilantunkan hanya di lingkungan padaleman saja. Itupun berlaku di antara Kangjeng Dalem bersama para seniman padaleman (Sukanda, 1990: 12). Kegiatan tersebut dilakukan pada malam hari, sebagai upaya ‘penghalusan’ dan ‘penajaman konsep’ atas gubahannya dari materi kawih pantun tadi.
Biasanya, sang Bupati meminta pertimbangan kepada para seniman kadaleman atas materi yang dikreasikannya itu demi berkembang ke arah yang lebih sempurna. Dan seperti biasa pula, para seniman kadaleman selalu menyetujuinya sebagai hasil olah kreasi yang sangat bagus dan bernilai luhung.
Kegiatan melantunkan materi lagu papantunan seraya dibarengi dengan kegiatan ‘evaluasi’ dan penajaman konsep tersebut senantiasa dilakukan pada malam hari, di kala ‘santai’ setelah siang harinya suntuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Bahkan setelah Kangjeng Dalem wafat (tahun 1862) terhadap materi kawih papantunan ini masih sering dilantunkan di lingkungan padaleman hingga akhir abad XIX.
Secara musikal, lagu-lagu Papantunan yang dikreasikan sang Dalem Cianjur ini memiliki ciri khas tersendiri, yakni didominasi dengan nada 2 (mi) dan 5 (la). Dalam perkembangannya, terutama di akhir abad XIX hingga awal abad XX, muncul lagu kreasi baru (masih) dari para seniman kadaleman dengan memunculkan lagu berdominasi nada 1 (da, barang) dan 4 (ti). Adapun jika ditransliterasi, lirik dari teks tersebut bisa berupa sisindiran (paparikan), atau berupa puisi pantun. Karena secara teknik dalam melantunkannya masih seperti gaya papantunan, maka para seniman dan masyarakat sekitarnya kerap menyebutnya sebagai Pantun Barang (Hendrayana, 2016:10). Istilah ini untuk melabelisasi lagu Papantunan, namun bertumpu pada nada ‘barang’ dan nada ‘ti’. Di kemudian hari, lagu-lagu pantun barang ini dikenal sebagai Wanda Jejemplangan.
Baru pada awal abad XX, di saat Kabupaten Cianjur berada di bawah Bupati R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910), dengan generasi seniman padaleman yang sudah berganti, terjadi pengembangan atas kreasi yang sudah digagas oleh Kangjeng Dalem Pancaniti. Pengembangan tersebut merupakan pengayaan materi baru (yang berbeda dengan kawih Papantunan) dan pengayaan lagu-lagu. Pengayaan lagu tersebut bukan berdasarkan seni pantun, melainkan dari tembang rancag[5].
Adapun lantunan tembang rancag biasa dilantunkan berdasarkan naskah dangding berupa wawacan. Tradisi tembang rancag dengan menggunakan naskah wawacan di abad XIX berlaku hampir di daerah-daerah yang termasuk wilayah Priangan, termasuk di Kabupaten Cianjur. Tembang rancag berdasarkan naskah wawacan tersebut biasa disebut dengan istilah mamaca[6].
Para seniman padaleman di bawah arahan Bupati Prawiradiredja II inilah yang kemudian mengkreasikan tembang rancag denan cara ‘menghaluskan’ dalam sisi lantunan. Penghalusan materi tembang rancag menjadi materi baru tersebut, menurut para ahli, hampir sama prosesnya dengan kreativitas Kangjeng Dalem Pancaniti ketika menggubah materi baru dari materi kawih pantun.
Kalau saja Kangjeng Dalem Pancaniti menggubah kawih pantun dan di kemudian hari dikenal sebagai materi Papantunan, maka pada zaman Kangjeng Dalem Prawiradiredja II materi hasil dari kreasi tersebut di kemudian hari dikenal sebagai Rarancagan (Hendrayana, 2015).
Secara sederhana yang disebut Rarancagan adalah lantunan kreasi baru di zaman Bupati R.A.A. Prawiradiredja II yang dikreasikan oleh para seniman kadaleman (dengan arahan sang bupati) dengan bersumber dari tembang rancag. Terhadap kreasi baru yang digubah atas dasar seni mamaca ini orang Cianjur kerap menyebutnya sebagai mamaos[7].
Pada tahun 1912, kedudukan Bupati Cianjur dipegang oleh R.A.A. Wiranatakusumah V yang menggantikan R. Demang Natakusumah (1910-1912). R.A.A. Wiranatakusumah ini merupakan menantu dari R.A.A. Prawiradiredja II. Pada era Kangjeng Dalem R.A.A. Wiranatakusumah V inilah muncul lagi kreasi lagu baru. Lagu hasil kreasi zaman bupati ini tidak bersumber pada materi seni pantun dan juga seni mamaca, melainkan bersumber pada seni degung. Perlu diketahui bahwa hingga saat itu (tahun 1910-1920-an) seni degung hanya berupa musik instrumentalia. Dan pada era ini, para seniman kadaleman dengan arahan R.A.A. Wiranatakusumah V melakukan kreasi baru dengan melahirkan lagu-lagu bentukan baru dengan bersumber pada melodi-melodi tabuhan degung intrumentalia. Lagu baru ini muncul dengan menggunakan materi dangding, terutama dari materi guguritan. Di kemudian hari, lagu gubahan baru tersebut dikenal sebagai wanda Dedegungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada dasawarsa 1920-an, di Cianjur muncul lagi gubahan baru yang dikreasikan bukan dari seni pantun, tembang rancag, atau seni degung, melainkan dari kawih seni wayang. Lagu gubahan baru tersebut menggunakan lirik seperti yang berlaku pada kawih pawayangan (yang banyak menggunakan Bahasa Jawa). Di kemudian hari, materi kreasi baru tersebut dikenal sebagai wanda Kakawen.
Masih dalam dasawarsa 1920-an, muncul juga gubahan bentuk baru yang dikreasikan dari kawih-kawih tandak (berirama konstan) yang tersebar di masyarakat. Sukanda (1990:12) menyebutnya sebagai kawih-kawih gamelan, atau kawih rakyat yang biasa disenandungkan dalam saat-saat tertentu. Di kemudian hari, materi bentuk baru ini dinamakan sebagai Lagu Panambih.
Maka hingga tahun 1930, di Cianjur terdapat materi seni suara yang bersandar pada lagu-lagu Papantunan yang digagas Kangjeng Dalem Pancaniti, yakni materi Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Keenam jenis lagu ini di kemudian hari dikenal sebagai kelompok seni suara yang khas yang muncul di daerah Kabupaten Cianjuran, dan kemudian oleh masyarakat luar Cianjur disebutnya sebagai materi Cianjuran.
Pengamat Cianjuran dari Belanda, Wim van Zanten, lebih cenderung memilih istilah ‘cianjuran’ untuk seni suara khas asal Kabupaten Cianjur ini, seperti yang tampak pada judul bukunya ‘Sundanese Music in The Cianjuran Style’. Berbeda dengan Yus Wiradiredja yang masih menggunakan istilah ‘tembang Sunda cianjuran’ seperti yang tertera pada judul bukunya ‘Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009)’. Demikian pula dengan Deni Hermawan yang beranggapan cianjuran sama dengan ‘tembang Sunda Cianjuran’ seperti yang tampak pada judul bukunya ‘Gender dalam Tembang Sunda Cianjuran’; atau Apung SW yang kerap menuliskan cianjuran dengan istilah ‘tembang sunda’ seperti yang terbaca dalam buku-bukunya ‘Sumbangan Asih keur Tembang Sunda’, ‘Kuring jeung Tembang Sunda: Pamanggih jeung Papanggihan’, atau pada buku ‘Nu Sarimbag & Unak-anik dina Tembang Sunda’. Padahal, sekali lagi, istilah ‘tembang’, ‘tembang Sunda’, ‘tembang Sunda cianjuran’, dan ‘cianjuran’ memiliki pengertiannya masing-masing, serta satu sama lain memikliki makna yang berbeda.
Simpulan
Pemahaman yang menyatakan tembang sebagai lagu berirama merdeka adalah keliru. Materi tembang memiliki irama merdeka dan juga irama tandak. Tembang merupakan lagu dengan bersumber pada dangding (aturan pupuh), bisa bersumber pada wawacan bisa pula bersumber pada guguritan. Demikian pula dengan kawih. Materi kawih memiliki irama merdeka dan irama tandak, yang secara kodrati (materi berstruktur irama bebas dan irama konstan) berlaku hampir di seluruh daerah.
Istilah kawih melingkupi seluruh seni suara yang terdapat pada masyarakat Sunda. Dilihat dari bentuk, kawih melingkupi kawih kiliningan, kawih degung, kawih kacapian, kawih cianjuran, tembang ciawian, tembang cigawiran, pop Sunda, beluk, tembang wawacan, kawih pantun, kawih calung, kawih celempungan, kawih roronggéngan, tarling, dermayonan, dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari sifa iramanya, kawih ada yang berirama merdéka ada pula yang berirama tandak. Materi kawih yang termasuk irama merdéka (tidak terikat ketukan) di antaranya lagu poko dalam cianjuran, bawa sekar dalam gamelan (kiliningan), kawih pantun (rajah, serta bagian nataan), beluk, tembang rancag, tembang ciawian, juga tembang cigawiran. Materi kawih yang berirama tandak (terikat oleh ketukan) di antaranya lagu panambih dalam cianjuran, lagu jalan dalam kiliningan, sisindiran, kawih celempungan, kawih degung, kawih kacapian, pop Sunda, kawih calung, dan sebagainya.
Catatan Kaki
[1] Lagu poko (Ind.: pokok) dalam cianjuran dilantunkan sebelum lantunan lagu panambih. Lagu pokok bisa berupa wanda papantunan, wanda jejemplangan, wanda dedegungan, wanda rarancagan, serta wanda kakawen, di mana kontur lagunya memiliki formula irama merdeka. Khusus lagu wanda dedegungan dan wanda rarancagan liriknya berupa guguritan (tembang).
[2] Terhadap seni tembang wawacan masyarakat kerap menyebutnya sebagai seni beluk. Padahal yang terjadi adalah tembang wawacan yang menggunakan gaya lantunan beluk.
[3] Istilah mamaos dikenal di daerah Cianjur untuk menyebut wanda rarancagan dan dedegungan pada seni cianjuran. Istilah ‘mamaos’ merupakan bentuk halus dari kata ‘mamaca’ yang memiliki arti ‘membaca’. Yang dimaksud dengan istilah ‘membaca’ adalah membaca puisi dangdingan, baik berupa wawacan maupun guguritan.
[4] Kawih Pantun adalah nyanyian yang biasa dilantunkan pada pertunjukan seni pantun. Seni pantun itu sendiri adalah sastra lisan berupa kisahan panjang yang menceritakan sebuah kerajaan di Sunda, memiliki bagian cerita yang dituturkan dan bagian cerita yang dinyanyikan.
[5] Tembang rancag yakni lantunan lagu sederhana berdasarkan teks dangding, biasa berlaku pada seni mamaca atau membaca teks wawacan.
[6] Menurut para ahli, mamaca memiliki arti membaca. Adapun yang dimaksud dengan membaca pada makna tersebut adalah membaca naskah wawacan yang berbentuk puisi dangding.
[7] Mamaos adalah bentuk bahasa halus dari kata mamaca, artinya membaca teks wawacan yang dilantunkan. Istilah mamaos bagi orang Cianjur sejatinya adalah penyebutan bagi materi cianjuran wanda Rarancagan, yang lagunya berdasarkan teks dangding (berupa wawacan).
Daftar Pustaka
Ayatrohaedi. (1998). Mataholang: Benih dan Bentuk Kesenian Sunda. Bandung: Makalah Seminar Seni Budaya Sunda Buhun.
Danadibrata. (2004). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hendrayana, Dian, (2012). Mendudukkan Istilah Kawih dan Tembang. Bandung: Jurnal Sundalana.
(2016). Dina Kawih Aya Tembang. Bandung: CV Geger Sunten.
(2016). Serat keur Emay. Bandung: Pustaka Jaya
(2015). Mengapa Bukan Cianjuran (tulisan rubrik Opini). Tribun Jabar, edisi 28 September 2015
Hermawan, Deni. (2016). Gender dalam Tembang Sunda. Bandung: Sunan Ambu Press
Komarudin. (2002). Menelusuri Pengertian Istilah Kawih dan Tembang dalam Karawitan Sunda. Jurnal Panggung Nomor XVIII April 2001 (49-54)
LBSS. (1985). Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate
Nina H. Lubis. (1989). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi kebudayaan Sunda
Rosidi, Ajip. (1966). Kesusatraan Sunda Dewasa Ini. Jakarta: Tjupumanik
(1982). Ngalanglang Kasusatraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
(2011). Sawer jeung Pupujian. Bandung: Kiblat Buku Utama
(2011). Wawacan. Bandung: Kiblat Buku Utama
Ruhaliah. (2018). Wawacan Sebuah Genre sastra Sunda. Bandung: Pustaka Jaya
(2019). Sajarah Sastra Sunda. Bandung: UPI Press
Ruhimat, Mamat, dkk. (2012) Kawih pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sacadibrata. (2004). Kamus basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Satjadibrata, R. (1953). Rasiah Tembang Sunda. Djakarta: Balai Pustaka
Sopandi, Atik. (1985). Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Satu Nusa
Sukanda, Enip. Dkk. (2016). Riwayat Pembentukan dan Perkembangan Cianjuran. Bandung: Disparbud Jawa Barat bekerjasama Yayasan Pancaniti
(1990). Penelusuran Seni Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: STSI Press
Sumardjo, Jakob. (2002). Filsafat Seni. ITB Press
(2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir
SW, Apung. (1994). Kuring jeung Tembang Sunda: Pamanggih jeung Papanggihan. Bandung: Kencana Press
(1964). Sumbangan Asih kana Tembang Sunda. Bandung: Ganaco
(2006). Nu sarimbag & Unak-anik dina Tembang Sunda. Bandung: Paguyuban Seniman Tembang Sunda bekerja sama dengan Yayasan Pusat Kebudayaan
Wiradiredja, Yusuf. (2014). Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009). Bandung: Sunan Ambu Press.
Zanten, Wim van. (1989). Sundanese Music in The Cianjuran Style. Dordrecht: Foris Publications.
KOMENTAR ANDA