post image
Himendra ini lebih dari sekadar orang tua, namun juga seorang panutan, mentor, guru, idola, bahkan Oky menyebutnya sebagai sang legenda hidup (The Living Legend).
KOMENTAR

Akan terlalu banyak perspektif yang bisa membuat tulisan ini takkan pernah selesai jika kita mengulas dua institusi ikonik ini, yang satu adalah perguruan tinggi dan yang satu lagi adalah klub sepak bola profesional.

Karena tulisan ini dibuat untuk diselesaikan, maka kita hanya akan bicara satu persamaan tentang UNPAD dan Persib, keduanya merupakan dua hal yang begitu erat dengan Jawa Barat meskipun sejatinya bermula dari kota Bandung.

Identitas

Hal paling luar biasa jika kita bicara tentang persinggungan UNPAD dan Persib adalah sosok Profesor Himendra Wargahadibrata, Rektor Unpad periode 1998-2007 sekaligus pemain Persib era 60-70an.

Meskipun Himendra telah berpulang, namun cerita tentang sosok dokter yang mampu sukses di tiga bidang sekaligus yaitu sebagai guru besar dan rektor, dokter spesialis, dan pesepak bola yang membela tim nasional, akan selalu terus dibicarakan bahkan banyak yang mengatakan pencapaian Himendra takkan pernah lagi bisa disamai siapa pun hingga hari kiamat.

Secara historis, UNPAD dan Persib takkan pernah bisa terlepas dari ikatan emosional warga Jawa Barat sekaligus identitas primordial orang sunda, namun seiring waktu berjalan, tentu keduanya harus bisa menjawab tantangan agar mampu mandiri dan mengglobal.

Salah satu indikator Persib mampu mandiri adalah terlepas dari bantuan APBD dan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT), dalam logika yang mirip kemandirian UNPAD pun dimulai ketika berlakunya UU Badan Hukum Pendidikan di masa kepemimpinan Himendra, embrio UNPAD yang progresif tak terlepas dari sosoknya.

Bagi siapa saja yang mengenal Himendra tentu akan sepakat tentang pencapaian ideal urang panjalu ini yang sulit disamai lagi oleh generasi berikutnya, beliau mencapai puncak sukses di tiga bidang sekaligus: Akademis sebagai guru besar dan rektor, kedokteran sebagai dokter spesialis anastesi senior yang ilmunya masih diperlukan, sepak bola dengan terpilih menjadi pemain tim nasional Indonesia.

Mewarisi darah ningrat, Himendra justru enggan menggunakan embel-embel kebangsawanan dalam pergaulan. Sikap non-feodal dan egaliter serta demokratis membuat dirinya bisa “nyambung” dengan kalangan aktivis semenjak masih menjabat pembantu rektor yang banyak berinteraksi dengan mahasiswa.

Walau demikian bukan berarti dirinya gampangan dalam berkompromi, ketegasan, dan aturan main wajib dipegang teguh oleh para pihak yang bersepakat, sikap sportif ala atlet yang masih dipegangnya walau tak lagi bermain bola.

Latar belakang keluarga yang terpandang pun sebenarnya cukup unik untuk seorang pemain bola saat itu. Himendra mengatakan bahwa dirinya tinggal di kawasan elite Menteng, Jakarta pusat. Kabar tentang anak Menteng yang jadi pemain bola saja sudah cukup aneh, apalagi saat diketahui bahwa sang pemain bola “beneran” menyandang status sebagai mahasiswa kedokteran.

Untuk diketahui, kawasan Menteng yang sekarang bisa jadi terkesan biasa saja dan mudah diakses memang pernah sangat prestisius dan dikenal elite sebagai kawasan pemukiman orang-orang istimewa, bukan orang biasa.

Istilah bukan orang biasa sebenarnya tak berlebihan juga, karena Himendra adalah keturunan Raja Galuh, dan dirinya benar-benar menjadi “raja” saat “naik tahta” menjadi Rektor UNPAD dan menjabat selama dua periode.

Selama menjadi orang nomor satu di perguruan tinggi terkemuka Indonesia, nyaris tiada cela yang terdengar dari “rakyatnya”, para pegawai. dan staff universitas menggambarkan sosok rektor yang satu ini sebagai sosok yang peduli terhadap kesejahteraan para pegawai.

Beberapa cerita tentang mahasiswa yang dibebaskan dari beban SPP ataupun sifat dermawannya seringkali saya dengar saat melakukan riset kecil-kecilan semasa kuliah di UNPAD dulu.

Terkait kesejahteraan pula, Himendra memberi perhatian serius saat dirinya menjadi pengurus Persib Bandung, pemikiran bahwa seorang pemain bola tetap harus sejahtera selepas gantung sepatu tampak dari kebijakan yang menjamin mantan pemain Persib saat itu menjadi PNS, pegawai bank, ataupun karyawan BUMD.

Pola pikir, konsep, serta filosofi manajerialnya mewarnai dua hal penting yang menjadi ikon Jawa Barat (Persib & UNPAD), Himendra seringkali mengingatkan pentingnya “silih asah, silih asih, silih asuh” lalu “tong paaing-aing” dalam menjalankan organisasi.

Lalu, terakhir yang saya ingat adalah ucapan Himendra tentang kaum tua yang tak perlu merasa terancam jika ada generasi muda yang memang lebih pintar dan memiliki kapasitas, bisa jadi pemikiran itu pula yang mendorong begitu banyak kemunculan profesor-profesor muda dari UNPAD pada masa kepemimpinan Himendra.

Jika boleh menyimpulkan makna etos atau watak ideal orang sunda yang “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter” sesungguhnya dapat kita temukan pada sosok Himendra Wargahadibrata. Suatu konsep ideal yang pada akhirnya tak hanya memberi dampak positif serta teladan kepada urang sunda saja namun Indonesia secara keseluruhan.

Tepat rasanya jika mengatakan Himendra ini sebagai perwujudan “kearifan lokal” dengan pemikiran yang global.

Legenda Hidup

Pertemuan terakhir saya berlangsung di kediaman beliau di Jalan Imam Bonjol. Saya datang bersama Oky Syeiful R Harahap, anak Medan yang kemasannya sudah Bandung. Besar dan menggeliat di kota kembang sejak awal 90-an membuat kawan saya ini hanya terdeteksi “kemedanannya” melalui dua hal, Harahap di bagian belakang namanya dan tim lokal yang dia banggakan: PSMS Medan.

Oky bukan orang asing bagi Himendra, keduanya sudah mengenal dekat terutama ketika masa reformasi 98, ketika itu Oky adalah pentolan aktivis kota Bandung khususnya UNPAD.

Sebenarnya Himendra tak keberatan dipanggil Kang Hendra oleh kolega-koleganya, namun saya dan Oky lebih nyaman memanggil beliau dengan panggilan “Pak”.

Hal itu sangat wajar mengingat perbedaan usia kami berdua yang sangat jauh dengan beliau. Selain itu, respek terhadap Himendra ini lebih dari sekadar orang tua, namun juga seorang panutan, mentor, guru, idola, bahkan Oky menyebutnya sebagai sang legenda hidup (The living legend).

Cukup mengejutkan ketika saya mengadakan riset kecil-kecilan yang menunjukkan bahwa generasi muda zaman sekarang baik segmen mahasiswa UNPAD ataupun bobotoh justru kurang familiar dengan beliau.

Adapun mahasiswa FK (Fakultas Kedokteran) Unpad mengenal beliau hanya sekadar sebagai dokter dan dosen. Bisa jadi ini karena sifat Himendra yang memang terlalu low profile dan sangat rendah hati.

Bayangkan saja jika untuk penulisan biografi beliau berjudul “Himendra Sang Playmaker” pasca-beliau berhenti dari jabatan rektor UNPAD, saya dengar awalnya Himendra sempat menolak, untunglah buku yang ditulis oleh Prof. Nina Lubis-Sejarawan UNPAD itu rampung juga karena memang sudah direncanakan sejak lama.

Meski kini Himendra telah berpulang, namun setiap kali melintasi Jalan Imam Bonjol, selalu saya melihat rumah klasik itu, rumah Prof. Dr. H. Himendra Wargahadibrata, dr., Sp.An., KIC , guru besar Fakultas Kedokteran UNPAD, Rektor UNPAD periode 1998-2007, dokter spesialis anastesi, dan playmaker Persib dan tim nasional Indonesia pada era 60-70an.

KOMENTAR ANDA

Sejak 2002, Unpad Satu-satunya Perguruan Tinggi yang Lakukan Uji Vaksin di Indonesia

Sebelumnya

Kelulusan Jalur Mandiri Dibuka, Unpad Terima 2.154 Calon Mahasiswa Baru

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Kampus