post image
penggalan sajak "di Restoran" karya Sapardi Djoko Damono. (sumber foto: chordify)
KOMENTAR

Di Restoran

Kita berdua saja, duduk
Aku memesan ilalang panjang dan
bunga rumput
kau entah memesan apa
Aku memesan batu di tengah
sungai terjal yang deras

kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk
Aku memesan rasa sakit yang tak
putus dan nyaring lengkingnya
memesan rasa lapar yang asing
itu.

Membincang Sapardi Djoko Damono, kita tidak bisa lepas dari dua hal. Pertama, Sapardi sangat senang sekali menulis menggunakan benda-benda alam, baik benda tersebut berfungsi sebagai aku-larik atau bukan. Kesenangan Sapardi ini menjadi bukti bahwa ia adalah penyair romantik. Kedua, puisi Sapardi banyak bercerita tentang cinta Platonik. Cinta yang hadir dalam napas puisi Sapardi lebih didominasi napas cinta yang sedih.

Begitu pula yang terkandung dalam puisi “di Restoran” karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ini mengandung banyak diksi benda-benda alam dan berbicara tentang kesedihan dalam bercinta.

Teka-teki pertama muncul pada puisi tersebut pada larik “Aku memesan ilalang panjang”, “aku memesan batu”, dan “Aku memesan rasa sakit”. Mengapa si aku-larik memesan hal-hal yang tidak lazim seperti ilalang, batu, dan rasa sakit? Kemudian muncul pertanyaan yang lebih mendasar lagi yaitu, restoran macam apa yang menyajikan benda-benda tak lazim sebagaimana yang disebutkan sebelumnya?

Hal menarik yang Sapardi lakukan dalam pemilihan diksi “Restoran” adalah membuat ruang makna tersendiri. Restoran, seperti yang kita tahu, adalah tempat untuk orang-orang menyantap makanan. Namun, tidak sembarang orang dapat pergi ke restoran sebagaimana banyak orang dapat pergi ke rumah makan atau warteg. Restoran hanya terdapat di kota dan orang yang dapat pergi ke restoran hanya golongan ekonomi menengah ke atas. Restoran menyajikan makanan mewah dan harga yang tidak murah.

Akan tetapi, apakah hal ini sudah cukup menjelaskan makna puisi tersebut? Apakah judul dan larik-larik puisi telah kongruen secara makna?

Diksi “Aku memesan” yang terdapat sebanyak empat kali dalam puisi ini menggambarkan sebuah kesadaran aku-larik dalam bertindak, ia mampu memutuskan sebuah pilihan untuk dirinya. Sebab diksi ini empat kali disebutkan, aku-larik dengan tegas digambarkan memiliki keteguhan hati.

Pilihan-pilihan yang dipesan oleh aku-larik adalah pilihan yang tidak nyaman disantap atau pilihan yang tidak nikmat. Aku-larik lebih memilih “ilalang panjang” ketimbang pilihan lain, semisal pohon berbuah atau pohon berbunga. Kemudian pilihan diksi lainnya, bunga rumput. Aku-larik memilih bunga rumput daripada bunga-bunga lain yang harum dan sedap dipandang, yang mengundang serangga untuk membantu penyerbukan, seperti bunga mawar, bunga melati, dan bunga-bunga lain.

Diksi “ilalang panjang” dan “bunga rumput” rupanya memiliki target makna tersendiri. Kedua diksi tersebut tidak dilengkapi kata sifat, semisal “bungan rumput 
yang putih bersih”, yang berarti keduadiksi tersebut memiliki makna sebagai kata sifat.Ya, kedua diksi tersebut adalah penggambaran identitas diri aku-larik. Diksi “ilalang panjang” memiliki makna tanaman yang tidak sedap dipandang sekaligus tanaman parasit yang merugikan tanaman lain. Sementara itu, diksi “bunga rumput” adalah jenis bunga yang banyak ditemui dan tidak menarik.

Diksi selanjutnya yang melekat dengan aku-larik adalah lirik-lirik “batu di tengah sungai terjal yang deras”. Secara sekilas, lirik-lirik ini menggambarkan sebuah keterangan kondisi. Akan tetapi, pilihan diksi tersebut dalam puisi ini bekerja sebagai kata kerja. Diksi “batu” lekat dengan idiom dalam bahasa Indonesia, seperti idiom "kepala batu”, yang bermakna keras kepala sekaligus teguh dalam prinsip. Diksi “di tengah sungai terjal yang deras” menegaskan makna diksi “batu” sebelumnya. Diksi tersebut menegaskan sikap keteguhan dan ketetapan hati aku-larik, walaupun aku-larik berada pada kondisi yang sulit dan kapan pun dapat goyah sebagaimana “batu di tengah sungai terjal yang deras”.

Diksi terakhir yang lekat dengan aku-larik adalah lirik-lirik “rasa sakit yang tak putus” dan “rasa lapar yang asing itu”. Sebelumnya, ada satu diksi “memesan” yang dilakukan aku-larik dengan suara “nyaring lengkingnya”. Hal ini menegaskan betapa nelangsanya aku-larik dengan pilihan pesanan yang ia putuskan. Selanjutnya, kedua diksi terebut menggunakan citraan perasaan sebagai bentuk menggambarkan dampak dari pekerjaan dan identitas diri aku-larik. Aku-larik merasakan perasaan sakit yang sangat, serta perasaan “lapar yang asing”.

Apakah kiranya hubungan pesanan-pesanan aku-larik dengan tema cinta? Jawabannya, ada dalam lirik sebelumnya. Aku-larik pergi ke restoran dengan "engkau” berdua saja. Kegiatan pergi ke restoran berdua saja jelas kegiatan yang dilakukan oleh pasangan, ngedate atau kencan istilahnya. Akan tetapi, sosok “engkau” tidak diketahui memesan apa, bahkan ditegaskan dua kali.

Makna Puisi

Akhirnya, jelaslah hubungan makna yang terjalin antar lirik dalam puisi ini. Restoran adalah representasi dari hubungan percintaan kaum urban, yang mewah dan tidak dimiliki oleh orang banyak. Restoran sebagai representasi hubungan percintaan menawarkan beragam pesanan, termasuk pesanan “rasa sakit”. Kegiatan kencan yang implisit tersirat dalam puisi menggambarkan makna bahwa keduanya berada dalam jalinan hubungan, yang barangkali hubungan cinta bertepuk sebelah tangan.

Aku-larik mengetahui bahwa cinta yang ia miliki bertepuk sebelah tangan. Dalam menjalin hubungan percintaan itu, ia mengalami kesedihan dan kenelangsaan—yang digambarkan dengan pesanan-pesanan di restoran—, meskipun ia memilihnya dengan putusan keteguhan sepenuh hati. Walaupun demikian, sikap aku-larik tetap teguh berada pada posisinya seperti “batu di tengah sungai terjal yang deras”. Aku-larik tetap memutuskan untuk mencintai sosok “engkau” walaupun cintanya bertepuk sebelah tangan.

KOMENTAR ANDA

Peringati Peristiwa G30S, Ini 5 Fakta PKI yang Perlu Diketahui

Sebelumnya

Bukan Cuma Perempuan, Saintis Ungkap Laki-laki Juga Bisa "Datang Bulan"

Berikutnya

Artikel Sains