post image
puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono. (sumber foto: pinterest)
KOMENTAR

HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni 
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif 
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Setiap insan di dunia (laki-laki maupun perempuan, bukan laki-laki maupun bukan perempuan, dari golongan laki-laki dan golongan perempuan) pasti pernah merasakah suatu anugrah dari Tuhan yakni perasaan jatuh cinta. Cinta yang saya maksud bukanlah cinta dalam cakupan makna yang rumit, melainkan cinta dengan cakupan makna sederhana yakni cinta kepada seorang kekasih.

Sebelum memulai pada puisi “Hujan Bulan Juni”, alangkah lebih baik kita ketahui terlebih dahulu makna cinta. Cinta adalah kumpulan hasrat manusia berupa perasaan kasih sayang. Sebab ia berdasar pada hasrat, cinta kepada kekasih biasanya dimotori oleh eros atau gairah yang badaniah.

Walaupun demikian, cinta tidak melulu soal badaniah. Plato, seorang filsuf Yunani, pernah mencetuskan “cinta Platonik" yakni cinta yang ideal, perasaan kasih sayang yang lebih dalam daripada sekadar hasrat badaniah. Platonian mendeklarasikan “cinta Platonik” melebihi segala bentuk cinta yang dimiliki manusia, sebab itu cinta versi ini adalah cinta yang tulus dan tidak diperlukan adanya ikatan atau status resmi.

Cinta karena ia begitu primordial dalam diri manusia, selalu diekspresikan dalam beragam bentuk. Penyair adalah orang yang mengekspresikan cinta dalam kata-kata, mengabadikannya dalam lautan makna. Begitu pula hal yang dilakukan Sapardi Djoko Damono. Dalam puisi Sapardi, ia senang menggunakan benda-benda alami sebagai wujud perwakilan cintanya. Melalui kesenangannya ini, dapat kita ketahui bahwa Sapardi adalah seorang penyair romantik.

Puisi “Hujan Bulan Juni” menjadi salah satu buktinya. Selain keperluan fungsi estetis, Sapardi mengganti sosok subjek dengan benda-benda alam juga karena keperluan semiotis. Benda-benda alam tersebut diberi majas metafor, yang seolah benda itu hidup, berpikir, dan berperasaan. Penggunaan simbol inilah membuat puisi Sapardi semakin indah.

Makna Puisi

Sapardi mengganti “aku larik” atau subjek dalam puisinya sebagai “hujan bulan Juni”. Kata “hujan” mengandung makna yang maskulin sehingga ia mewakili jenis kelamin laki-laki. Selain itu, diksi “hujan bulan Juni” diberi kata sifat; semisal kata “tabah”, “bijak” dan “arif”; dan kata kerja oleh Sapardi; semisal kata “dirahasiakannya”, “dihapusnya”, dan “dibiarkannya”.

Dalam struktur puisi, kata-kata sifat di atas selalu ditempel erat dengan repetisi kata “tak ada yang lebih”. Diksi “tak ada yang lebih” dalam puisi ini menegaskan bahwa kata-kata sifat tersebut hanya dimiliki aku larik seorang atau oleh “hujan bulan Juni”. Selanjutnya, kata kerja yang mengikuti aku larik menjelaskan bahwa aku larik pantas diberi kata sifat tersebut.

Aku larik atau “hujan bulan Juni” dimaknai memiliki sifat paling tabah karena “dirahasiakan rintik rindunya”, memiliki sifat paling bijak karena “dihapusnya jejak-jejak”, dan sifat paling arif karena “dibiarkannya yang tak terucapkan”. Ketiga kata kerja ini memberi kita petunjuk bahwa aku larik memendam perasaan, bahkan perasaan yang dipendam itu “dihapus” dan “dibiarkan”.

Perasaan apa yang dimiliki oleh aku larik? Jawabannya bisa kita ketahui dari larik-larik selanjutnya. Kata "rintik rindunya" dan "jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu" adalah perasaan yang dimiliki oleh aku larik, perasaan cinta.

Diksi yang menduduki fungsi objek dalam puisi ini, yang bertugas menerima kata kerja yang dialamati aku larik, yakni “pohon berbunga itu”. Diksi “pohon berbunga itu” memiliki makna feminin, sebab kata “bunga” selalu identik dengan perempuan. Keberadaan objek yang hanya satu itu menegaskan bahwa “pohon berbunga itu” sebagai satu-satunya alasan yang membuat “hujan bulan Juni” memendam perasaannya.

Berdasarkan pembedahan makna di atas, puisi “Hujan Bulan Juni” mengisahkan seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan, tetapi tidak mampu untuk menyampaikannya, sehingga ia lebih memilih untuk menghapuskan keraguan cintanya.

Ketabahan merelakan cinta terhadap orang yang dicintai ini dianggap perbuatan yang “paling bijak” dan “paling arif”. Sajak ini seolah memberitahu tentang cara mencintai yang aduhai, sekaligus berkhotbah hakikat cinta Platonik, yakni perasaan kasih sayang yang tulus dan tidak harus memiliki.

KOMENTAR ANDA

Peringati Peristiwa G30S, Ini 5 Fakta PKI yang Perlu Diketahui

Sebelumnya

Bukan Cuma Perempuan, Saintis Ungkap Laki-laki Juga Bisa "Datang Bulan"

Berikutnya

Artikel Sains