post image
Dunia tengah menghadapi krisis kesehatan akibat wabah virus corona atau Covid-19.
KOMENTAR

Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte dalam wawancaranya dengan media massa Belanda, bulan April lalu, menyebut wabah Covid-19 seperti tsunami. Virus ini mewabah seperti tengah menyapu jagat, dan sepanjang karier saya, memang liputan Covid-19 seperti sedang meliput tsunami, memakan korban banyak, efeknya masif, dan waktu peliputannya panjang.

Saat Aceh ditempa bencana tsunami, saya sebetulnya sedang sakit, jadi meski saya minta ditugaskan meliput, kantor tidak memberi sinyal hijau. Sebulan usai bencana itu terjadi yaitu pada Januari, saya nekat berangkat ke Aceh dengan dana sendiri.

Sebelum tsunami terjadi, bulan Agustus saya sempat ke Aceh untuk perayaan 17 Agustus. Pemerintah lokal baru membangun sebuah taman yang indah, semacam taman mini lokal dengan berbagai rumah adat khas provinsi Serambi Mekkah tersebut.

Perjalanan ke Aceh membuka wawasan saya tentang indahnya Aceh, makanan lezat, kerajinan tangan yang cantik, dan budaya yang menarik. Saya pikir, Aceh bisa menjadi alternatif destinasi wisata baru untuk konsep wisata religi.

Namun, tiba-tiba gempa dan tsunami menghantam. Saya melihat semua perubahan besar terjadi antara Agustus yang indah berbanding terbalik pada Januari, di mana semua sudah rata dengan tanah. Kalaupun tidak rata tanah, ada kapal di atap rumah-rumah. Melihat pemandangan diluar nalar ini, kita semua dapat peringatan, tentang dahsyatnya kekuatan alam raya.

Zaman itu saya ingat tentang beredar hoaks soal tsunami, misalnya narasi tentang gempa dan hantaman ombak itu adalah buatan negasa asing, semacam hasil ledakan nuklir dari musuh negara. Kalau ada nuklir, kenapa tidak ada jejak radiasi?

Persis seperti Covid-19, banyak kepala negara di dunia, mengaitkan Covid-19 dengan proxy war, peran intelijen, dan teori konspirasi bahwa virus ini buatan negara musuh.

Kalau itu memang benar buatan negara musuh, berarti negaranya sedang diserang. Tapi kenapa kepala negaranya tidak bersikap seperti sedang menghadapi perang? Malah anteng saja jalan-jalan, semua harus berjalan sepert normal, dan seolah semua baik-baik saja.

Berarti dia sendiri tidak percaya dengan perkataannya sendiri? Katanya diserang, tapi malah bersantai, bagaimana sih? Absurd ah.

Bedanya antara meliput tsunami dan Covid-19 adalah bencana terjadi satu kali, tapi efeknya besar dan panjang. Sementara Covid-19 merupakan bencana yang berlangsung lama, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, para ahli menyebut, bencana ini bisa bertahun-tahun kalau kita tidak putuskan rantai penularan virusnya.

Ketika meliput tsunami, cerita menjadi panjang karena semua yang terjadi pascatsunami menjadi menarik. Sementara dalam meliput Covid-19, semua proses terjadi dalam masa bencana wabah, juga menjadi menarik, karena namanya novel corona. Novel artinya baru, ya semuanya jadi baru. Jurnalistik dan media berisi news, dari kata new (baru). Jadi apapaun yang berkaitan dengan Covid-19, berarti semuanya baru, berarti punya nilai berita.

Berapa lama saya meliput tsunami Aceh? 3,5 Tahun! Jadi selama itu saya bolak-balik Jakarta-Aceh untuk melihat perkembangan dan kemajuan Aceh dan sekitarnya. Media menganggap tsunami Aceh merupakan salah satu bencana alam terbesar dalam peradaban manusia dan bagaimana manusia bertahan dari bencana dan membangun kembali hidupnya dari puing-puing, adalah kisah perjuangan paling epik yang harus dicatat.

Berapa tahun kita akan meliput Covid-19? Sampai kita berhasil mengatasai wabah ini, semoga kita semua diberi umur panjang, diberi kekuatan, dan kesabaran menghadapi wabah ini ya teman teman.

Salam sehat dari Italia.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual