post image
Parkir mobil sembarangan. /Parjo
KOMENTAR

Saya tinggal di daerah desa di kabupaten Bandung semenjak tahun 2001. Desa Cipagalo, lebih dekat ke kota Bandung sebenarnya ketimbang ke kabupaten Bandung yang pusat pemerintahannya ada di Soreang.

Jalan yang ada di desa sekitar tempat saya tinggal tidak terlalu lengang dan tidak ramai kendaraan. Sejauh mata memandang, kiri dan kanan jalan hanya ada hamparan sawah.

Saking banyaknya sawah, desa Cipagalo tergolong zona hijau alias zona pertanian. Sedikit polusi dan sedikit populasi.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, desa saya semakin banyak penghuninya. Tempatnya yang dekat dengan jalan Terusan Buah Batu ini membuat banyak pengusaha properti yang menyulap sawah-sawah desa saya menjadi komplek perumahan.

Kini, pada tahun 2020, jalan yang semula lengang jadi padat dan terasa kecil. Lucu sebenarnya macet di depan rumah sendiri yang hampir dua puluh tahun lalu ini masih lengang dan kosong.

Maklum, peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan tidak kongruen dengan peningkatan luas jalan. Otomatis, jalan utama yang digunakan terasa padat.

Entah bagaimana kebijakan pemerintah desa saya, jalan utama kini berlubang akibat banyak kendaraan dengan muatan berat keluar-masuk desa. Jalan bahkan tidak pernah diperbaiki, baik oleh pengusaha properti maupun oleh pemerintah desa, kecuali bila ada pemilihan pejabat desa atau pejabat kecamatan. Itu juga diperbaiki menggunakan semen yang daya tahannya tidak lama.  

Saya tidak akan berfokus pada kualitas jalan desa saya dalam tulisan ini. Hal yang membuat saya terganggu adalah sebuah pertanyaan, mengapa jalan utama desa saya kini semakin macet dan padat?

Masyarakat Konsumerisme

Tidak bisa dipungkiri jika keinginan untuk kaya raya dimiliki oleh setiap orang. Keinginan memiliki banyak uang, memakan makanan enak dan mahal, serta memiliki benda-benda luxury adalah idaman banyak orang.

Saya juga demikian. Akan tetapi, bagaimana jika kenyataannya kemampuan finansial tidak sesuai keinginan gaya hidup?

Masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsinya. Sebab masyarakat Indonesia sangat mengedepankan citraan visual, maka hal yang dikonsumsinya berupa tontonan yang dijadikan tuntunan. Tontonan dapat diperolah dari televisi, media sosial, maupun tetangga sebelah.

Kekayaan selalu identik dengan rumah mewah, dompet yang tebal, benda elektronik atau benda otomotif yang canggih, dan aksesoris mahal. Alasannya sederhana, sebab selebritas/artis televisi mengkampanyekan identitas kekayaan dengan materi.

Bagi masyarakat desa seperti saya, orang yang memiliki satu dari hal tersebut dapat diakui sebagai orang kaya di mata masyarakat. Kalau ia memiliki mobil berarti ia orang kaya, sesederhana itu. 

Akhirnya, seseorang membeli mobil walaupun kemampuan finansial tidak mencukupi. Ia lebih memilih menyedikitkan makan demi kelihatan kaya. 

Mobil Makin Banyak
Saya tidak punya masalah dengan orang atau tetangga yang memiliki mobil, bahkan memiliki mobil lebih dari satu. Saya hanya punya masalah dengan orang yang memarkir mobilnya di pinggir jalan.

Memang betul, ia memarkir mobilnya di depan rumahnya. Namun, jalan adalah jalan. Ia adalah fasilitas umum yang tidak boleh diakuisisi sebagai milik pribadi karena anggapan masih wilayah tanah milik. 

Secara hukum, perbuatan parkir mobil pribadi di bahu jalan, sekalipun di depan rumahnya, tetap telah menyalahi peraturan. Bila cakupan wilayah sesuai surat kepemilikan tanahnya hanya sampai pagar rumah, maka jalan yang ada di depan rumah bukanlah tanah milik pribadi.

Ketika saya menegur tetangga saya yang memarkirkan mobilnya di depan rumah karena menghalangi jalan menuju rumah saya, saya malah ditegur. Dalam pembelaannya, ia hanya melakukan hal yang sama dengan tetangga lain yang memarkirkan mobilnya di depan rumah masing-masing.

Fasis dan Efek Fraud

Parkir mobil di pinggir jalan adalah bentuk kecurangan karena menggunakan fasilitas umum. Apalagi, jika jalan tersebut adalah jalan desa yang kecil seperti pada konteks kasus yang saya alami. 

Secara psikologis, kekeliruan ini didorong oleh efek Fraud yang mementingkan aspek ekonomi seperti akuisisi jalan umum untuk keuntungan pribadi. Dalam konteks ini, keuntungan lahan parkir yang tidak memakan biaya.

Kekeliruan ini terjadi karena kebiasaan. Orang-orang Indonesia mempopulerkan semboyan fasis    Nazi yang berbunyi, “kekeliruan yang terus-menerus dilakukan akan jadi kebenaran”.

Orang-orang memarkirkan mobilnya di jalan ada tiga kemungkinan. Pertama, mereka tidak memiliki garasi sehingga parkir mobil di jalan. Kedua, mereka memiliki garasi tetapi mobilnya banyak. Ketiga, mereka punya garasi tetapi memilih menggunakannya untuk kepentingan lain.

Mulanya hanya satu orang yang melakukan kebiasaan parkir mobil di jalan. Kemudian, tetangga-tetangga lain pun membeli mobil dan memarkirkan mobilnya dijalan. Akhirnya, jalan umum dipenuhi oleh mobil di setiap sampingnya.

Sejauh mata memandang, di sepanjang jalan sekitar rumah saya, tetangga-tetangga saya banyak yang memarkirkan mobilnya di depan rumahnya masing-masing. Hal ini seolah telah menjadi kesepakatan bersama sehingga teguran saya itu salah, kata tetangga saya itu.

Lantas Bagaimana? 

Ada bias dan ketidakadlian dalam pola pikir orang yang memarkirkan mobil di jalan, sekalipun di depan rumahnya. Ia tidak tahu dan tidak peduli tentang fungsi jalan bagi orang lain.

Solusi nyata yang dapat dilakukan adalah meregulasi pembelian mobil. Orang yang ingin membeli mobil diharuskan memiliki garasi. Hal ini demi ketertiban dan kenyamanan bersama.

Saya sangat mendorong pemerintah segera meregulasi pembelian mobil. Selain itu, dengan regulasi pembelian mobil, niscaya jalan tidak akan macet sebab ada mobil yang parkir sembarangan.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual