post image
bahasa Sunda yang sedang "punah". (sumber foto: pinterest)
KOMENTAR

Beberapa tahun silam di Jatinangor, ketika bercakap dengan kolega saya tentang janji temu tengah malam nanti untuk merayakan ulang tahun kekasihnya, kawan saya berkata dalam bahasa Sunda, “dagoan engké janari!”. Saya seketika terenyak dan menatapnya dengan wajah bingung sembari melontar pertanyaan dalam bahasa Sunda, “naonjanaritéh?”.

Sementara itu, kolega saya yang lain dari Riau bertanya pada saya ketika kami jalan-jalan keliling kota Bandung, “kenapa ada huruf Sansakerta di situ?” seraya jari telunjuknya mengarah pada papan jalan Braga. Saya menjawab pertanyaannya bahwa yang berada di bawah itu bukanlah huruf Sansakerta, tetapi huruf Sunda kuno. Kawan saya yang tak pernah berhenti bertanya itu kemudian diam setelah saya mengatakan kalau saya tidak tahu apa yang tertulis dengan huruf Sunda kuno tersebut.

Sebuah ironis mendapati saya sebagai orang Sunda tidak mengetahui padanan kata bahasa sendiri dan tidak bisa membaca huruf Sunda kuno. Walaupun demikian, dalam kepala saya kemudian muncul pertanyaan “apakah hal ini hanya dialami oleh saya?”. Saya pun membuat hipotesis sederhana bahwa problem ini dialami oleh banyak orang Sunda, terutama orang urban dan generasi milenial.

Berdasarkan metode observasi lapangan teman satu angkatan dan wawancara dengan dua orang petugas Balai Bahasa Jawa Barat yang tidak sengaja ketemu saat mengudap pisang goreng di jalan Ciliwung, berikut akan paparkan faktor problem kebahasaan pada generasi milenial yang telah disepakati disebagai gejala budaya.

Pernikahan Antar Suku

Faktor pertama yang melatarbelakangi bahasa Sunda tidak digunakan sebagai bahasa ibu adalah faktor pernikahan antar suku. Pasangan yang menikah berbeda suku biasanya bersepakat untuk mengasuh anak mereka dengan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, sang anak tumbuh dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibunya. Sang anak pada umumnya hanya akan mengerti sedikit padanan kata bahasa Sunda, dan sehari-hari ia biasa menggunakan bahasa Indonesia.

Lingkungan

Beberapa kasus bahasa Sunda yang tidak dilestarikan ditemukan pada keluarga yang orang tuanya sama-sama suku Sunda, tetapi tinggal di luar Jawa Barat dan Banten. Sebuah keluarga Sunda yang tinggal di luar Jawa Barat dan Banten biasanya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain tempat mereka tinggal untuk keperluan komunikasi sehari-hari, sebagaimana adagium popular, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Sementara itu, beberapa kasus lain ditemukan pada keluarga yang menikah antar suku dan tinggal di luar daerah Jawa Barat dan Banten. Anak yang dibesarkan pada kondisi demikian biasanya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Sunda, tidak mengerti sintaksis bahasa Sunda, dan tidak tahu padanan kata bahasa Sunda serta maknanya. Ia tidak bisa membedakan fonem [e] pada kata “pengker” dan fonem [eu] pada kata “peungkeur”.

Urbanisasi dan Modernisasi

Dewasa ini kita memasuki era modernisasi yang cepat dengan hadirnya teknologi canggih. Masuknya budaya asing beserta dengan bahasa asing tidak terbendung sehinga menyebabkan akulturasi dan asimilasi kebudayaan. Konsumerisme budaya asing yang dilakukan oleh generasi milenial, semisal menonton film dengan berbahasa asing, menjadi jantung problem kebahasaan. 
Contoh lain adalah metode pengasuhan anak oleh tokoh publik berpengaruh yang menggunakan bahasa asing dalam media sosial atau televisi yang dikonsumsi oleh generasi milenial.

Dampaknya, generasi milenial lebih memilih menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Sunda karena dianggap lebih keren dan meningkatkan derajat status sosial. Sementara itu, kota adalah tempat tumbuh suburnya fenomena demikian. Bahasa masyarakat urban menjadi kiblat bahasa yang digunakan oleh masyarakat daerah.

Gender

Komunikasi yang dilakukan oleh generasi milenial Sunda lebih menekankan pada bahasa asing, yakni bahasa Indonesia, ketimbang bahasa Sunda. Acap kali kita temui sepasang muda-mudi bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia, walaupun keduanya sama-sama orang Sunda. Komunikasi antar gender yang menggunakan bahasa Sunda dianggap terasa udik dan kampungan, sehingga generasi milenial Sunda enggan menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi.

Sistem Pendidikan

Faktor terakhir yang menyebabkan bahasa Sunda tidak dilestarikan adalah sistem pendidikan kita yang tidak mengkampanyekan urgensi penggunaan bahasa Sunda. Murid-murid di sekolah hanya dituntut menghafal ketimbang meminati budaya Sunda, termasuk bahasa Sunda. Dampaknya, murid hanya “apal cangkem” alias hafal sesaat untuk kepentingan nilai rapot.

Demikian faktor-faktor yang melatarbelakangi fenomena kebahasaan yang menjadi krisis identitas masyarakat Sunda. Generasi milenial sebagai penerus dan pewaris bahasa Sunda dihadapkan dengan “punahnya” bahasa Sunda karena keengganan menggunakannya. Kemiskinan padanan kata serta ketidakmampuan membaca huruf Sunda kuno menjadi problem yang harus kita atasi bersama.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual