post image
Cerpen Lembar Lentera (Gambar Oleh Resel Efendi)
KOMENTAR

“Mereka tidak akan mengerti” ia bergumam pelan,”mereka sungguh tidak akan mengerti”.

“Dan kamu paham betul mereka sebetulnya tidak perlu mengerti” suara itu menjawab lebih pelan.

“Dan kau memutuskan untuk datang sekarang. Aku sudah hampir lupa” seraya ia mengambil lagi pahat.

“Kamu dingin sekali. Kamu tahu betul aku pasti datang”.

“20 tahun, 20 tahun dan kau memutuskan untuk datang sekarang. Kenapa?”

“Hahahaha, 20 tahun. Kamu memang berubah”.  Ia berkata seraya memutari patung. Patung berbentuk seorang lelaki. Semua patungnya hampir selesai dan menyisakan bagian wajah yang masih polos.

“Apa yang kau tahu soal berubah. Semenjak 20 tahun, aku berhasil sampai di sini. Di tempat yang ku mau. Semenjak neraka itu ku alami, aku berhak berada disini”.

“Hey, tenanglah. Mengapa begitu tegang. Aku mengenalmu, sangat mengenalmu. Aku tahu semua yang kamu lakukan semenjak 20 tahun itu. Jadi pemahat patung ternama kamu kini. Patungmu ada di mana-mana. Dipesan oleh orang-orang besar. Itu memang yang kamu inginkan bukan?”

“Aku menangkap sarkastik dari apa yang kau bicarakan. Aku tak butuh lagi pengakuanmu. Aku seorang wanita dewasa mandiri. Hidup dari karya-karya ku. Aku tahu dimana harus berada”.

“Ya, kamu tahu betul di mana kamu harus berada. Di antara mereka bukan? meminum wine pada sebuah jamuan kenegaraan. Terhitung sebagai bagian dari seniman yang diakui oleh orang-orang besar. Para pahlawan perang”.

“Sekali lagi kau mengeluarkan sarkastikmu, ku usir kau dari studio ini”. Ia berkata setengah berteriak. “Apa sih yang kau inginkan dariku sekarang? Aku tidak punya waktu meladenimu”.

“Aku hanya ingin tahu wajah apa yang akhirnya akan kamu buat. Sudah kuhitung 3 hari berturut-turut kamu disini. Tidak minum dan tidak makan bahkan tidak tidur”.

“Apapun wajah yang ku buat, kau tidak punya urusan soal itu”.

“Mengapa kau bingung sekali soal wajah, mengapa tidak memahat wajahnya? yang kamu lihat mati di sebuah jembatan tertembak 20 tahun yang lalu? Kamu menunggu 20 tahun untuk membuat patung ini bukan? setelah semua cara berputar-putar kamu lakukan untuk membuat dirimu merasa berhak mematungkan apa yang terjadi 20 tahun lalu?”

“Diam!”, Ia membentak keras nyaris melemparkan palu yang Ia pegang, “Kalau kau paham sekali diriku, kau tau aku berusaha keras melupakan itu. Bertahun-tahun aku mengalihkan seluruh pikiranku pada semua patung yang kubuat. Dan kini kau datang untuk menghakimiku. Ku ingatkan Kau sekali lagi. KAU TIDAK BERHAK BICARA SOAL ITU”.

“Ya”, katanya sambil mengehela nafas,” Kamu memang harus lupa. Seperti kamu lupa siapa sesungguhnya yang kamu perangi kala itu. Apa sesungguhnya tujuan dari perang itu. Pada siapa kamu berpihak. Siapa yang berada dibalik meja dan siapa yang kemudian menarik pelatuk melesatkan pelurunya”, suaranya berteriak, “Kau terlalu banyak berputar sampai akhirnya lupa. Mereka yang menjabat tanganmu memang pahlawan perang. Yang kemudian sekarang menjelma menjadi tiran. Mengulang seluruh alasan mengapa perang itu dilakukan. Kamu adalah bagian dari mereka. Seluruh patungmu kamu jauhkan dari alasan-alasan mengapa 20 tahun yang lalu kamu bejuang. Kamu memisahkan seluruh dirimu dari kenyataan. Bahwa patungmu adalah estetika dan entitas yang berdiri sendiri atas nama keindahan”, Ia berteriak tepat di depan wajahnya,”Ya, tentu saja kamu memang harus lupa. Persis orang-orang itu kini yang terlalu lupa menghitung kawan mereka yang mati pada perang 20 tahun lalu. Yang bahkan demi diri mereka sendiri, berjabat tangan dengan pembunuh kawan-kawan mereka. Kawan-kawanmu”, katanya semakin keras dan kemudian ia berbisik pelan, “Begitu juga dirimu”.

“Ayahku hilang diculik” , katanya setengah berteriak, “Ayahku hilang diculik dan ibuku menghidupiku seorang diri sampai dia mati di tangan seorang prajurit yang terlalu mabuk saat aku baru bisa mengeja. Apa yang kau tahu soal keindahan. Apa yang kau tahu soal jabat menjabat!” seraya ia menangis. “Aku mengais sampah untuk bisa makan. Aku melakukan apapun yang kubisa untuk cita-citaku ini! Berani-beraninya kau bicara soal berjuang di hadapan mukaku!” Dalam senggukan yang lebih kencang ia bicara, “Aku hanya ingin hidupku baik-baik saja! Aku hanya ingin bisa jadi seperti orang lain!”. Kemudian ia menangis lebih keras, “Demi cita-citaku, hanya demi cita-citaku! Aku menikahinya juga karena kukira ia akan sama seperti dulu! Di bawah gelap parit jembatan kami berdekapan menghindari peluru, kemudian berjanji untuk saling mencintai satu sama lain! Apa yang lebih romantis dari janji yang di ucap di bawah moncong senjata?” Nyaris kehabisan nafas kemudian ia berteriak,”Kini apa? Siapa sangka orang bisa berubah begitu cepat? Dulu ia adalah pahlawan bagiku, kini dia tidak lebih dari pejabat tengik yang kutemukan dengan perempuan lain! Aku yang ada disitu ketika dia tidak punya apa-apa dan patung-patungku yang menghidupi kami berdua! Barang perlu kau katai aku penjilat aku tidak peduli. Patungku ada di istana dengan harga yang mahal dan ia bisa juga masuk dari titik awal itu!”, Dengan mata merah sembab ia meneruskan, “ Kini apa? Aku tidak punya lagi apa-apa. Tidak dirinya, tidak seorang anak. Hanya patung, pahat dan palu sialan ini yang aku punya! Bahkan patung yang tidak bisa kutentukan wajahnya!” Ucapnya sambil memegangi patung tanpa wajah itu.

“Kamu pikir ini cerita cinderela? Ini dunia nyata nyonya!” Katanya kembali dengan nada membentak, “ Tidak ada awal, tidak ada akhir, yang ada hanya hidupmu. Hidup ini satu dan satu-satunya! Hanya belas kasihanku yang bisa kuberi padamu sisanya semua orang harus sanggup mengatakan benar sebagai sebuah kebenaran dan salah sebagai sebuah kesalahan”, Ia berucap sambal menujuk kesana kemari. “Kalau itu tidak sanggup kita lakukan, kita hanya akan memperpanjang barisan kekonyolan ini! Kekonyolan dimana semua hal tercetak secara abu-abu yang kita sulit cari dimana spektrumnya! Apa memang hidup itu yang kamu mau? Hanya hidup ini yang kamu punya! Kamu memang telah kehilangan segalanya dan tidak ada lagi yang berarti. Bahkan dari awal kamu tidak memiliki apa-apa!” Kemudian ia melangkah dan berbisik di kuping,” Aku tidak memintamu menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Aku hanya memintamu mengingat siapa adalah siapa dan kemana kini kita harus melangkah. Kamu telah kehilangan segalanya. Ayahmu, ibumu dan yang paling baru dia. Tapi hari ini kubilang padamu, Aku datang karena wajah itu tidak bisa kamu selesaikan dan itu berarti, kamu telah kehilangan dirimu sendiri hari ini. Selamat, kamu hanya akan jadi kaleng kosong yang tidak tahu apa itu manusia dan kemanusiaan sampai akhir hidupmu”

Ia terdiam dan menangis. Sebelum menghantamkan palu pada kepala dan menusuk perut dengan pahat, ia berkata “Kau benar”. Menyisakan sebuah ruangan bersimbah darah yang hanya berisikan patung tanpa wajah, pahat, palu dan juga sebuah cermin besar.

KOMENTAR ANDA

Senandung Algoritma

Sebelumnya

Baca Juga

Artikel Rumentang Siang