post image
Ilustrasi: Dua patung tampak sedang mendengar suara di balik tembok. /PIXABAY/Couleur
KOMENTAR

Mendengar Itu Cinta (Bagian II) 

Audi multa loquere pauca 

(Mendengar banyak berbicara sedikit)

Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhan untuk didengarkan. Sayangnya, kebutuhan ini pula yang gampang-gampang susah untuk dipenuhi. Mengapa gampang? Karena kita hanya perlu menyediakan kedua telinga. Mengapa susah? Karena diperlukan perhatian (menyimak), keikhlasan (rela), dan energi (fokus dan memberi feedback) untuk menjadi pendengar yang baik.  

Selama ini kita dilatih untuk berkompetisi.  Untuk menonjol. Untuk memiliki skill dalam public speaking. Kita tak dilatih untuk menjadi pendengar. Kita tak dilatih untuk bersabar. Jarang kita dilatih untuk berempati. Padahal,  mendengar itu membutuhkan empati. Kita dilatih untuk tergesa dalam segala. Padahal mendengar menyita waktu kita. Dengan istilah asing yang sudah mendunia "time is money", kita ikut derap laju peradaban yang tergesa diburu segala. Tanpa cukup waktu untuk jeda.  

Stephen R. Covey mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak mendengarkan untuk tujuan memahami, melainkan untuk membalas ucapan si lawan bicara.

Seringkali, jika teman atau pasangan kita membutuhkan untuk didengar, kita tidak sepenuhnya memberi perhatian. Bahkan seringkali fokus kita malah ke Hape. Iya kalau memang ada pesan penting yang harus dibalas, masih bisa dimaklumi. Tapi bukankah seringkali hanya scroll up medsos?  

Mengalihkan fokus ke Hape saat teman atau pasangan sedang berbicara, merupakan bentuk tidak menghargai. Sikap itu seolah-olah berkata bahwa scroll up medsos lebih menarik dan penting daripada apa yang sedang disampaikan dan atau dibutuhkan oleh teman kita, yaitu untuk didengar. 

Ya, kita memang tak dididik dan tak terlatih untuk menjadi pendengar yang baik.  

Memang, mendengar itu gampang-gampang susah. Tak benar-benar mudah, sekaligus tak benar-benar susah.  Sebagaimana urusan lain, maka untuk menjadi pendengar yang baik hanya diperlukan niat dan kesungguhan. 

Mendengar itu cinta. Ada kerelaan, ada keikhlasan dan kesungguhan di dalamnya. Pemimpin yang baik pastilah pendengar yang baik, tersebab ada cinta di dalamnya. Guru yang baik, dosen yang baik, pendidik yang baik,  adalah pembelajar yang baik. Dan seorang pembelajar yang baik,  tentu adalah seorang pendengar yang baik. 

Ohya, ngomong-ngomong, sudahkah Anda membaca hari ini? Sebab, membaca itu juga mendengar dalam bentuk yang aktif loh. Membaca itu mendengar sang penulis berkata-kata dalam bentuk yang visual.  

So, selamat mendengar. Dengan didasari cinta, tentu saja
Dan selamat membaca,  dengan didasari cinta juga, tentu saja.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual