kedua orang tuaku adalah lidah
api yang kerap membakar habis bekas
kecupan lidahmu di keningku yang
kering. kadang ia bisa berupa besi
pentungan polisi kota kita yang
siap memberiku ungu tato
atau tahilalat baru yang biru.
kau meminta mataku untuk tidak
bermain-main dengan kelaminmu dan
segera menjadi penggemar wafer serta
botol jamu. dalam tubuhku yang
paru-parunya terbakar asap
rokok dan penolakan cintamu,
ia selalu dapat memberi
kehangatan yang asing, pintamu
di samping pintuku yang
tak bergagang.
kau lupa, terakhir kali aku
menjadi abu adalah ketika
puisi Sapardi membaca diriku
dan saat merayakan keinginanmu
mencintai seseorang yang
tidak mencintai puisi.
Bandung, Oktober 2019
KOMENTAR ANDA