post image
Bentuk Menenangkan Diri Sendiri dan Mencoba Menerima (Foto: detik news)
KOMENTAR

Saya pernah mendengar dari salah satu teman bahwa dirinya merasa selalu tidak tenang. Awalnya dia sempat bingung rasa tidak tenang yang sudah ia rasakan ternyata sangat berpengaruh pada kesahatan mentalnya. Ia mencoba untuk berkontemplasi, ia tanya pada dirinya sendiri. Ternyata, ia merasa insecure atas nasib baik orang lain dibanding nasibnya sendiri.

Teman saya merasa bahwa tidak sepantasnya usia seperti dirinya yang menginjak 22 tahun tetapi belum mendapat pekerjaan. Pasca lulus kuliah dari universitas ternama, ia berhasil menjadi pengangguran selama 2 tahun. Seperti menganggap dirinya tak berharga, rasanya label sampah masyarakat ada pada dirinya.

Begitu juga cerita tentang insecurity salah seorang sahabat dekat, hidup dari kecil lalu berkuliah-bekerja masih di kota yang sama. Banyak orang bilang kalau kesuksesan itu ketika kita berkuliah di luar kota dan bekerja meninggalkan kota lama. Padahal gajinya cukup untuk diri seorang perempuan, belum menikah, dan tinggal di kota yang terbilang tidak terlalu mahal dalam pemenuhan kebutuhan.

Sepupu saya, anak SMA kelas 12 yang sebentar lagi akan kuliah. Dulu, hampir setiap hari menanyakan “Aku itu gimana, sih?” ia masih bertanya tentang dirinya sendiri, setiap hari bertanya dan belum ada jawabannya. Seperti biasa, akhirnya menyalahkan diri sendiri adalah senjata paling ampuh.

Di kota yang sama, teman saya yang lain bercerita bahwa ia merasa insecure memiliki keluarga yang broken home. Sudahlah itu divorce, pisah kota, ia terombang-ambing merasakan kebingungan ingin ikut siapa. Rekaman di otaknya bahwa ia memang tidak memiliki keluarga yang normal, harmonis, dan penuh cinta. Ia hanya tahu bahwa ayah dan ibunya hanya bisa bertengkar meributkan ekonomi keluarga, membandingkan gaji siapa yang paling tinggi, dan membawa nama orang lain diantara keduanya.

Lalu, kita beranjak pada cerita salah seorang teman yang sudah menikah dan sedang merasakan rungsingnya omongan keluarga dan teman kantor tentang “Kapan ngisi?” saya tersenyum meringis mendengar ia terus berceloteh, memaki, dan berujung sedih. 

Saya rekam semua kisah teman-teman saya, bahwa ternyata setiap orang diuji oleh rasa ketidakamanan masing-masing. Semua itu akhirnya seperti efek domino, hancur dan jatuh sampai akhir. Karena memang sudah hancur diawal. Hancur perasaannya. Hancur pikirannya. Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka bisa merasakan rasa seperti itu, bisa juga terjadi pada saya. Tetapi, insecure itu punya jawabannya, teman-teman. Bisa dilawan.

Insecure bisa ada di hidup kita, karena kita mengizinkannya masuk. Kita mengizinkan ia terus ada sampai membuat kita lepas kendali, merasa tak berharga, dan seakan tidak bisa apa-apa. Insecure bisa ada karena kita berteman dengannya. Anggap ia musuh yang paling membuat hidup yang seharusnya bahagia ini, jadi mati tak bersisa.

Diri kita hidup bukan untuk dikasih makan insecure. Ia seperti racun! Gantilah dengan jamu. Pahit yang menyehatkan. Apapun yang terjadi di hidup kita, insecure tidak berhak semakin mengobrak-abrik diri sendiri. Jauhi prasangka ‘hidup orang lain lebih baik’. Jauhi teman-temanmu yang berpotensi mengandung bahan toxic. Rumput tetangga bisa hijau, karena asumsi yang turun dari generasi ke generasi. Kita bisa menghijaukan taman kita sendiri, loh!

Bukan begitu cara kita menghargai diri sendiri. Pelajaran ‘nerima’ yang wajib ditanamkan, suatu saat akan menyuburkan pikiranmu, menghijaukan hatimu. Nggak apa-apa kita seperti ini adanya, kita sudah berusaha, kita sudah lelah bersama. Nggak apa-apa, teman-teman. Ucapkan banyak terima kasih pada diri sendiri, sudah menerima rasa insecure ini sempat ada dan berani membuangnya jauh-jauh. Tidak harus cita-cita kita memberi sinyal hijau di tahun ini. Sehatkan mental kita dengan merefleksikan perbandingan diri masa lalu dengan masa sekarang, bukan dengan diri orang lain. Perbandingan yang hanya akan menghasilkan angka nol, tidak bernilai. Kita tetap sehat, harus tenang, dan berani melawan segala ketidakamanan pada hidup sendiri.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual