post image
Ilustrasi pemanasan global (Foto: Azocleantech)
KOMENTAR

Di bangku Sekolah Dasar kita diberitahu bahwa Indonesia sebagai negara tropis memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim panas. Dua musim itu rutin bergantian setiap enam bulan sekali. Musim kemarau di bulan April – September, sedangkan musim hujan pada Oktober – Maret. Tapi entah sejak kapan, pembagian musim itu sudah tidak jelas lagi.

Musim kemarau bisa datang lebih cepat atau lebih lambat, atau sebaliknya, musim hujan bisa datang terlambat atau justru lebih cepat. Durasi setiap musim pun menjadi tidak menentu, kemarau seringkali lebih lama ketimbang musim hujan. Selain frekuensi dan durasi, suhu pun ikut berubah. Beberapa tahun belakangan, suhu terasa lebih panas, bukan hanya di musim kemarau tapi juga di musim hujan.

Perubahan iklim tentu saja berdampak serius bagi makhluk hidup yang tinggal di planet ini. Bencana alam jadi lebih sering terjadi. Kekeringan parah melanda banyak wilayah di musim kemarau. Sedangkan di musim hujan, banjir merendam banyak kehidupan. Itu hanya salah satu dari banyaknya dampak buruk yang terjadi akibat pemanasan global.

Sebelumnya ilmuwan telah mengingatkan bahwa dampak yang ditimbulkan emisi karbon dan berbagai aktivitas manusia saat ini akan membuat suhu Bumi naik sebesar 4 derajat celcius pada tahun 2100.

Namun penelitian terbaru mengungkap, jika tidak ada perubahan aktivitas manusia secara signifikan dan penanggulangan emisi gas rumah kaca secara serius maka pemanasan global yang saat ini terjadi akan menjadi penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan hancurnya ekosistem  di seluruh dunia pada tahun 2030.

Khawatir dengan kondisi tersebut, para peneliti asal Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat melakukan peninjauan uang terhadap lebih dari 150 tahun data iklim. Mereka pun melakukan referensi silang terkait penyebaran 30 ribu spesies ikan, reptil, burung, dan mamalia.

Mereka membagi penyebaran tersebut berdasarkan kawasan di dunia dengan rentang 100 Km persegi, kemudian membuat model tren suhu serta pengaruhnya terhadap satwa di tiap-tiap wilayah tersebut.

Jurnal hasil penelitian yang diterbitkan di Nature itu menjelaskan bahwa dengan kadar emisi seperti sekarang, sekitar 73% spesies akan terdampak pemanasan global yang tingkatannya belum pernah separah saat ini. Efeknya bahkan dapat menimbulkan bencana serius bagi eksistensi populasinya.

Alex Pigot, seorang peneliti dari University College London’s Centre for Biodiversity and Environment menjelaskan bahwa populasi hewan cenderung hancur ketika mereka melintasi ‘garis lintang’ suhu.

“Ketika kami melewati ambang ini, kami memperkirakan risiko kepunahan lokal meningkat secara substansial,” ujar Pigot dilansir dari AFP. “Ini bukan lereng yang licin, tetapi serangkaian tebing, menghantam area yang berbeda pada waktu yang berbeda,” Pigot menambahkan.

Matinya banyak terumbu di Great Barrier Reef menjadi salah satu petanda yang membuat peneliti semakin yakin bahwa pemanasan global ekstrem akan dimulai sekitar tahun 2030 di samudra kawasan tropis.

Sejak Revolusi Industri dan emisi gas rumah kaca hasil pembakaran bahan bakar fosil yang terus meningkat setiap tahun, Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 1 derajat celcius. Jika tidak ada tindakan serius, kondisi ini akan terus memburuk dan menimbulkan berbagai bencana bagi seluruh kehidupan di planet Bumi.

“Ketika kita mendekati 2 derajat celcius dari pemanasan global, ada peningkatan yang mengkhawatirkan dalam risiko hilangnya keanekaragaman hayati yang mendadak. Ini memberikan bukti kuat untuk perlunya menahan pemanasan di bawah 2 derajat celcius,” tutup Pigot.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual