post image
Ilustrasi surat untuk seseorang di dalam botol.
KOMENTAR

Halo Riani? Tak terasa, lama kita tak bersua. Bagaimana keadaanmu saat ini? Kalau saya, syukur alhamdulillah tak ada kendala yang berarti dalam hidup saya ini. Allah sepertinya sedang memberkahi keluarga saya dengan rahmat dan karuniaNya yang bertubi-tubi datangnya. Baru saja saya berangan-angan untuk hidup di Jakarta. Keesokan harinya, ayahanda tercinta pun ternyata dipindahtugaskan ke ibu kota.

Namun, tetap saja rasanya diri ini hampa. Kebahagiaan itu rasanya hambar, kosong. Tentu saja itu adalah dampak karena engkau yang tak berada di sisi saya saat ini. Kalau saja bisa, saya ingin memilih untuk tetap hidup dengan kehangatan serta kesederhanaan bersama engkau di Palembang.

Akan tetapi, saya harus menerima kenyataan bahwa takdir yang membawa saya ke sini. Takdir tak bisa disalahkan apalagi dilawan. Hanya bisa dibenarkan dan tentunya diterima.

Maaf jika kata-kata saya tadi hanya menambah beban pikiranmu, Riani. Tak ada maksud dari saya untuk membuat engkau bersedih karena membaca surat dari saya ini. Sudah cukup sepertinya waktu untuk bersedih, saatnya saya membuatmu tersenyum bahagia. Menceritakan kepada engkau bagaimana heroiknya kehidupan di kota metropolitan ini.

Riani, tentu kebahagiaan ini terasa sempurna jikalau ada engkau yang menemani saya meniti kehidupan baru di sini. Bersenda gurau bersama menikmati hiruk-pikuk perkotaan yang terkadang menjenuhkan pandangan.

Memang pada awalnya, saya sempat mengeluh. Mengeluh tanpa kejelasan pada siapa keluhan itu dikeluhkan. Mengeluh karena menyesal telah memilih untuk menerima kenyataan bahwa saya harus pindah ke Jakarta. Saya yang awalnya sangat antusias untuk pindah pun belakangan ini langsung tertunduk lesu, tenggelam dalam diam, mengurung diri di kamar.

Karena pada kenyataannya, hidup di tempat yang baru tak seindah yang ada dalam bayangan saya. Butuh adaptasi lebih lanjut, perjuangan lebih keras untuk bertahan. Rasanya saya ingin menyerah, kembali ke tempat di mana saya dibesarkan pun dirasa merupakan jalan yang terbaik. Tidak, tidak semudah itu saya menyerah pada keadaan. Saya harus mulai melawan segala prasangka buruk tentang akan datangnya kemalangan karena telah memilih untuk hidup di sini. Saya harus mulai membuka diri pada lingkungan sekitar.

Pada hari inilah perjalanan mencari jati diri pun di mulai. Saya melangkah dengan penuh harapan. Saya harus mendapatkan banyak pelajaran dari perjalanan hari ini. Saya mulai dengan mengunjungi sebuah Padepokan Silat Betawi tak jauh dari Rumah Dinas Ayahanda saya. Saya melihat ada dua orang lelaki tua renta yang sedang berlatih. Gerakannya begitu gesit, membuat saya berdecak kagum.

Walaupun masih terlihat gagah, usia memang tak bisa dibohongi. Ketika saya bertanya pada salah satu anggota padepokan, ternyata semua anggotanya memang terdiri dari lelaki-lelaki yang sudah lanjut usia. Sungguh sangat disayangkan! Seharusnya para pemuda bisa meningkatkan ketertarikan pada salah satu seni bela diri dari Betawi ini.

Perjalanan saya lanjutkan hingga akhirnya kaki ini berhenti melangkah tepat di depan sebuah sanggar tari. Saya pun kembali berdecak kagum. Kali ini, beberapa anak kecil dengan riangnya berlatih menari walaupun gerakannya masih terbilang belum terampil dan selaras.

Ketika saya bertanya kepada salah satu anak yang sedang beristirahat, ia bercerita bahwa mereka sedang berlatih menari Topeng. Salah satu tarian yang biasa dibawakan ketika acara pernikahan.

“Kami mau tampil tiga hari kedepan, Kak. Doakan semoga kami sukses ya,” ucapnya sambil menebar senyum ramah. Senyum sebagai obat dari penyesalan yang sudah terlanjur membara pada diri saya.

Jam telah menunjukkan pukul satu siang. Rasa lapar pun mulai menghampiri. Tiba-tiba, tercium aroma yang begitu menggugah selera. Saya mulai mencari tahu dari mana asal aroma tersebut. Setelah saya telusuri, ternyata aroma tersebut berasal dari rumah salah satu warga. Saya pun memberanikan diri untuk mengunjungi rumah tersebut.

Alhamdulillah, saya disambut baik oleh pemilik rumah. Saya pun bertanya-tanya makanan apa yang sedang dimasak oleh beliau. Ternyata beliau memasak sebuah masakan khas yang dahulu menjadi salah satu masakan khas elit Betawi yaitu, Kerak  Telor. Saya pun diberi kesempatan untuk mencicipi olahan berbahan dasar telur ini.

Rasanya semakin nikmat karena bertabur kelapa parut yang telah disangrai. Tak hanya mencicipi, saya pun berkesempatan untuk belajar cara membuat olahan lezat ini. Sungguh pengalaman yang takkan pernah saya lupakan.

Melihat berbagai kesenian dan mencicipi kuliner khasnya sudah saya rasakan. Akhirnya, seluruh penyesalan karena memilih hidup di kota metropolitan ini pun mulai terobati. Lingkunganlah yang berhasil menyadarkan saya. Lingkungan yang berhasil mengajak saya untuk selalu bersyukur atas apa yang telah saya pilih.

Tanpa saya sadari, ternyata saya sedang duduk tak jauh dari sebuah bangunan tinggi nan menjulang. Bangunan yang dikenal dengan sebutan Monumen Nasional atau MONAS. Monumen kebanggan kota ini. Perjalanan saya pun terhenti dengan tersenyum penuh rasa syukur memandang tepat di Puncak MONAS yang konon katanya dilapisi dengan emas.

Bagaimana, Riani? Apakah engkau tertarik untuk menjelajahi ibu kota ini bersama saya? Kalau begitu, saya tunggu kedatanganmu. Perjalanan ini akan terasa lebih sempurna jika engkau berkenan untuk menemani. Saya kirimkan juga beberapa foto saat perjalanan saya supaya engkau semakin bersemangat untuk menemui saya di sini. 

Yang merindukanmu,

 

Nisrina Nayra.

KOMENTAR ANDA

Senandung Algoritma

Sebelumnya

Artikel Rumentang Siang