post image
Perempuan Zanzibar dalam balutan kanga, dan Perempuan Indonesia dalam balutan batik. Foto: Google.
KOMENTAR

Saat tinggal di Zanzibar, sebuah pulau yang berada di kawasan pesisir pantai timur Afrika, mata saya terbelalak takjub melihat banyak perempuan Zanzibaris mengunakan kain panjang sebagai sarung dan juga penutup kepala mereka. Motif kain-kain yang mereka gunakan itu, sungguh mengingatkan saya pada motif batik Indonesia.

'Kanga', begitulah nama kain tersebut, yang dalam bahasa Swahili berarti ‘Ayam Mutiara’, mungkin karena motif dalam kain kanga banyak menampilkan motif titik-titik lingkaran kecil yang serupa dengan corak pada bulu ayam mutiara.

Karena penasaran, saya mencoba mencari tahu apakah kain kanga yang banyak digunakan oleh kaum perempuan di Tanzania dan Kenya ini, betul-betul terinspirasi oleh batik Indonesia.

Dari beberapa bahan referensi yang saya baca, ternyata bangsa Belanda-lah yang pertamakali berperan dalam menyebarkan motif batik Indonesia ke wilayah Afrika.

Berdasarkan arsip dari pabrik tekstil, P. F. van Vlissingen (Vlisco) di Helmond, Belanda, produksi kain kanga produksi Eropa dimulai kurang lebih pada tahun 1876.  Sebagian besar catatan awal Vlisco hilang dalam kebakaran yang menghancurkan pabrik tekstil Belanda tersebut pada tahun 1883. Namun terdapat informasi yang berhasil diselamatkan dari satu buku catatan dari tahun 1876 berisi daftar selendang atau kain pembungkus biru dan putih (ukuran 54"x 79") dan saputangan kemerahan dan biru (ukuran 30"x 30") yang diproduksi untuk pasar Zanzibar.

Foto-foto selendang dan saputangan dimasukkan dalam catatan tersebut; motif kedua kain tersebut sangat mirip dengan desain Indonesia. Meskipun motifnya dicetak menggunakan cetakan dari kayu, motif keduanya sangat mirip dengan corak batik tulis Indonesia.

Selendang 1876 yang dicetak untuk pasar Zanzibar dapat dikatakan sebagai desain kanga pertama yang masih ada hingga saat ini. Kanga edisi awal tersebut menampilkan motif yang lebih dekat dengan motif batik Indonesia daripada kanga yang ada saat ini dengan desain motif yang lebih besar dan berwarna-warni.  Juga dalam motif kain selendang Indonesia terdapat motif ‘tumpal’ yaitu motif segitiga memanjang yang umum untuk pinggiran kain sarung. Motif segitiga berulang tersebut dapat ditemui pula dalam motif kain kanga.

Selendang buatan Vlisco juga menampilkan motif bunga putih kecil dengan lima kelopak, diapit di keempat sudut dengan bunga putih yang terdiri dari enam titik yang mengelilingi titik pusat. Di antara masing-masing pengelompokan lima bunga terdapat empat titik putih yang tersusun dalam sebuah bujur sangkar, semuanya terpisah dengan latar belakang biru tua. Desain ini dibuat berulang untuk menciptakan komposisi yang harmonis. Desain kecil, rumit, dan berulang ini adalah khas batik Indonesia.

Desain saputangan 1876 tampaknya sepenuhnya bernuansa Indonesia, meskipun menurut catatan, saputangan ini ditujukan untuk pasar Zanzibar.

Catatan dari pabrik percetakan tekstil Belanda, Vlisco, menunjukkan bagaimana desain Indonesia menginspirasi mereka untuk memproduksi kain untuk pasar Afrika Timur. Vlisco awalnya memproduksi tekstil untuk konsumsi domestik dan untuk ekspor ke wilayah koloni Belanda, yaitu, ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dari tahun 1840-an.

Dari tahun 1874, ekspor batik cetak ke Hindia Belanda menurun, sebagian karena persaingan dengan batik produksi lokal serta perubahan politik Belanda dalam kebijakan ekspor ke wilayah koloni.

Direktur pelaksana Van Vlissingen & Co., P. F. van Vlissingen menyadari untuk bertahan dalam bisnis, diperlukan pergeseran produksi atau pasar. Karena itu, dia mulai menyelidiki potensi ekspor ke Afrika Timur pada tahun 1875.

Pabrik tekstil Belanda mencoba menjual desain yang sudah ada - awalnya ditujukan untuk satu pasar - ke pasar baru lainnya, dengan harapan dapat meningkatkan produksi mereka. Vlisco sebelumnya telah memasok kain yang dicetak dengan lilin (wax) kepada pedagang Skotlandia, Ebenezer Brown Fleming, pada tahun-tahun terakhir abad kesembilan belas.

Brown Fleming memproduksi dan menjual kain yang terinspirasi batik Indonesia ini kepada konsumen di sepanjang Gold Coast (sekarang Ghana) Afrika Barat, dan menjadi sangat populer dan menyebar luas ke seluruh Afrika Barat dan Tengah.

Upaya serupa dilakukan di Afrika Timur, hampir dua dekade sebelumnya. Vlisco dan pedagang-pedagang Eropa yang mengimpor dan menjual tekstil cetak mereka, mencoba desain dan komposisi yang ada untuk melihat apa yang mungkin memicu selera pasar Afrika timur. Karena Vlisco sudah memproduksi desain yang dimaksudkan untuk Hindia Belanda, mereka mencoba menjual desain serupa ke Afrika Timur dari tahun 1875, dengan catatan ekspor paling awal ke Zanzibar pada tahun 1876.  Hal ini lah yang menjelaskan pengaruh motif dan desain batik Indonesia pada kain kanga, yang masih bertahan dalam desain kangga hingga saat ini.  

Buku motif tertua yang masih ada yang didedikasikan untuk Afrika Timur dalam arsip Vlisco menunjukkan jenis kain lain yang juga dipengaruhi desain Indonesia. Misalnya desain dari tahun 1886 dan 1889, yang komposisi kainnya sangat mirip dengan kain kemben Jawa.

Catatan tulisan tangan di tepi sampel kain tersebut mengkonfirmasi bahwa kain ini diimpor ke Zanzibar oleh Hansing and Co. pada 26 Juni 1886. Batik kemben Jawa dapat dilihat dari bentuknya yang sempit, persegi panjang dan digunakan sebagai kain penutup dada. Sebuah desain yang khas dari kemben adalah motif intan yang rata dan memanjang yang dapat ditemui pula dalam desain kain kanga.

KOMENTAR ANDA

Selamat Jalan Bung Candra

Sebelumnya

Kabar Duka, A.R Wahab Meninggal Dunia

Berikutnya

Artikel Alumni