post image
Ilustrasi: Sederet polisi keamanan sedang membuat barikade di tengah aksi demonstrasi./PIXABAY
KOMENTAR

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) mencatat ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta, 8 Oktober 2020. 

"Jumlah ini bisa bertambah dan kami masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara," kata Ketua AJI, Jakarta Asnil Bambani, dalam keterangannya, Jumat, 9 Oktober 2020.

Asnil menjelaskan, Jurnalis CNNIndonesia Thohirin, ia mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dibogem di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.

"Ketika itu dia tak memotret atau merekam perlakuan itu," jelas Asnil sebagaimana dikutip dari RRI.

"Polisi tak percaya kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, gawai yang ia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak," urai Asnil, seperti apa yang dikatakan Tohirin.

Sementara itu, Thohirin mengaku dirinya sempat dimarahi ketika diinterogasi oleh polisi.

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat, dalam keterangan yang diterima RRI, Jumat, 9 Oktober 2020.

Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga mengaku jadi sasaran polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran.

"Sontak terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya. Aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran bahwa ia jurnalis yang resmi meliput," ucap Asnil.

Kata Asnil, Polisi menolak pengakuan Peter, lantas merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar.

“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” kata Asnil, dalam keterangan Peter.

Ponco Sulaksono, jurnalis dari merahputih.com turut jadi sasaran polisi.

"Dia ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat. Ponco ditahan di Polda Metro Jaya. Aldi, jurnalis Radar Depok sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi bersitegang dengan polisi, nahas ia turut diciduk," tutur Asnil.

Tidak hanya itu pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Berthy Johnry, (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah, Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta) bernasib sama.

"Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya. AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," ungkap Asnil.

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 UU Pers) dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (Pasal 18 ayat 1). Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan.

Kekerasan terhadap jurnalis yang diduga dilakukan kepolisian kerap berulang. Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang wartawan yang meliput. Namun hingga hari ini perkara itu tidak rampung meski kasus itu telah dilaporkan.

"Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan 4 kasus kekerasan (2 laporan pidana dan 2 di Propam), namun tak satupun yang berakhir di meja pengadilan," imbuhnya.

Dikatakannya lagi, meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak kelihatan’, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi.

Berdasar peristiwa-peristiwa tersebut, AJI pun bersikap, berikut pernyataan sikapnya.

1. Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja; serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya.

2. Mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban.

3. Mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis.

4. Mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual