post image
dua orang saling komunikasi. (sumber foto: steemit)
KOMENTAR

Pernah pada suatu ketika, saya pergi ke pujasera jalan Ciseke besar untuk membeli makanan. Saya terjebak dilema antara memilik membeli fried chicken atau fried rice, serta membeli minumannya thai thea atau iced black coffee.

Tak ambil pusing, saya lantas pesan saja semuanya yang kemudian mamang tukang dagang memberi saya secarik kertas bertuliskan bill. Sembari menunggu pesanan datang, saya curi dengar orang dari kejauhan bercakap-cakap menggunakan bahasa Jaksel, “anjay! pedesnya literally dari cabe merahnya which is yang membuat rasanya mantul dan unique”.

Setelah pesanan selesai, saya pun angkat kaki saya menuju masjid. Di pintu masjid, terdapat kertas pemberitahuan yang berbunyi, “habis sholat, pintu tutup lagi” yang di damping kertas pemberitahuan lain yang bertuliskan “tutup keran sehabis wudhu”.

Rentetan kronologis kejadian yang saya alami sehari-hari ini terdengar biasa saja, bukan? Akan tetapi, tanpa kita sadari banyak gejala perilaku berbahasa yang tidak sehat terdapat di kehidupan keseharian kita. Tentu saja terdengar sepele, walaupun demikian adagium “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bahasanya” harus kita lestarikan. Berikut gejala perliaku berbahasa tidak sehat yang akan saya paparkan.

Ketakutan Menciderai Makna

Dalam bahasa Indonesia ragam agama, dapat kita temui beberapa kosakata dari bahasa Arab. Kata-kata itu berupa sholat, wudhu, aamiin, romadhon, dan sebagainya. serapan kosakata dari bahasa Arab ini telah mengalami moderasi dan kurasi oleh ahli bahasa yang dibakukan dalam KBBI, semisal kata “wudhu” menjadi kata “wudu”, kata “sholat” menjadi kata “salat”, kata “aamiin” menjadi kata “amin”, dan kata “romadhon” menjadi kata “ramadan". Akan tetapi, sering kita jumpai di lapangan kata-kata yang telah diserap tersebut masih dalam wujud kata aslinya.

Hal ini dikarenakan ada ketakutan menciderai makna ketika masyarakat mempopularkan serapan kata bahasa Arab. Sebagai contoh, kata “amin” dalam bahasa Indonesia memiliki kategori katapartikel yang bermakna “terimalah”, “kabulkanlah”, tetapi kata “amin” dalam bahasa Arab memiliki makna “orang terpercaya”. Oleh karena itu, kata yang dipakai oleh masyarakat tetap 
wujud kata aslinya dari bahasa Arab.

Kebiasaan Meminjam Sinonim Barat

Sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda, Komite Bahasa menggariskan kebijaksanaannya mengenai pengembangan kosakata bahasa Indonesia dengan ketentuan: (1) mencari kata dari bahasa Indonesia sendiri, (2) jika tidak ada, mengambil dari bahasa daerah, (3) jika masih tidak ada, mengambil dari bahasa Asia, (4) jika tetap tidak ada, barulah mengambil bahasa asing, khususnya Inggris. Sebab itu, pada dewasa ini banyak sekali kosakata yang berasal dari bahasa Inggris.

Walaupun demikian, kosakata yang berasal dari bahasa Inggris tersebut saat ini telah memiliki padanan kata bahasa Indonesia dan memiliki fungsi semantis yang sama. Sebagai contoh, kata “download” saat ini telah memiliki padanan kata bahasa Indonesia berupa kata “unggah”, kata “smartphone” telah memiliki padanan kata bahasa Indonesia berupa kata “pontar” atau “ponsel pintar”,  dan sebagainya. Akan tetapi, masyarakat telah terbiasa dengan kata sinonim dari Barat tersebut sehingga akan menimbulkan perasaan asing dan aneh bila menggantinya dengan padanan kata dari bahasa Indonesia.

Kebutuhan Estetik-Emosional

Dalam lapangan, penggunaan bahasa Indonesia verbal acap kali bercampur dengan bahasa Inggris. Perilaku ini memiliki motif untuk meningkatkan cita rasa makna sehingga terdengar estetik-emosional. Sebagai contoh, kalimat “Diana pergi belanja ke mall” memiliki cita rasa makna yang berbeda dengan kalimat “Diana pergi  shopping ke mall”. Oleh sebab itu, fenomena bahasa “Jaksel” popular di kalangan generasi muda karena dianggap dapat meningkatkan gengsi dan status sosial.

Kegunaan Ekonomi

Fenomena “nginggris” yang sedang tren dewasa ini dijadikan peluang bisnis oleh kaum oportunis. Dalam bidang kuliner, kerap kita temui menu makanan yang disajikan ditulis menggunakan bahasa Inggris. Sebagai contoh, kata “black coffee” digunakan ketimbang kata "kopi hitam”, kata “spicy Indonesian meat ball” digunakan ketimbang kata “mie bakso pedas”, kata “fried banana with golden crispy” digunakan ketimbang kata “pisang goreng”, dan sebagainya. Perilaku “nginggris” dalam bidang kuliner ini dilakukan karena dapat meningkatkan nilai ekonomis suatu benda. Hal ini tidak lepas dari motivasi psikolinguistik yang menganggap bahwa bahasa Inggris itu keren.

Pola Pikir Bahasa Daerah

Perilaku yang terakhir agak sulit karena telah dinormalisasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, pola pikir bahasa daerah sering kita bawa ketika menulis ataupun berbicara. Sebagai contoh, kalimat “Budi izin ke air” adalah pola pikir bahasa Sunda karena kegiatan “ke air” hanya terdapat dalam semesta bahasa Sunda, sedangkan bahasa Indonesia hanya mengenal kegiatan “ke kamar mandi”. Contoh lain, orang-orang Jawa karena terbiasa dengan penambahan bunyi nasal yang homorgon menyebabkan mereka menambakan fonem [m] pada kata "mBandung” dan fonem [n] pada kata [nDepok].

Demikian lima perilaku yang merusak bahasa Indonesia baik secara gramatikal maupun secara leksikal. Selain itu, fenomena "nginggris‟ yang terjadi di masyarakat ini merupakan refleksi krisis identitas bangsa yang harus kita atasi.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual