post image
Think Global Act Local: Ikut arisan PKK dan dasawisma di kampung! Untuk merebut kembali ruang-ruang publik yang paling dekat dengan kehidupan kita.
KOMENTAR

Dulu, awal-awal menikah, ketika masih muda dan sok mengkritisi semua hal, hi hi hi, aku adalah orang yang tidak mau ikut acara arisan PKK maupun dasawisma ibu-ibu di kampung. Selain karena menolak dipanggil ibu (ha ha, engga ding), juga karena acara-acara itu, bagiku waktu itu, seperti tidak ada manfaatnya begitu.

Hanya datang, salaman, duduk, bayar-bayar arisan dan iuran-iuran yang lain, nunggu dikocok, mendengarkan pengumuman-pengumuman, salaman lagi, terus pulang deh. Rasanya kayak wasting time! Ada diskusi kek, penyuluhan kek, seminar kek, nonton bareng kek, alaahh, biar ada manfaatnya.

Apalagi waktu itu kan sebagai fasilitator isu gender, aku sering sekali diundang sebagai narasumber ataupun fasilitator untuk mengisi acara-acara, dari mulai seminar nasional, pelatihan nasional, hingga diskusi di komunitas, dan juga arisan PKK serta dasawisma ibu-ibu di kampung. Jadi waktu itu aku beberapa kali memang datang arisan ibu-ibu, tapi di kampung orang, sebagai narasumber, dih, sudah cukup belagu belum kedengarannya, ha ha ha.

Tapi di kampung sendiri? Belum pernah datang sama sekali. Dengan alasan sibuk kerja! Padahal arisan cuma sebulan sekali, setiap tanggal 19 jam 5 sore. Dan setiap tanggal 19 itu aku sengaja dilama-lamain di kantornya, sengaja pulangnya setelah magrib, cari-cari lemburan, atau kalau tidak ya nongkrong bersama teman-teman, yang penting setiap tanggal 19 aku harus pulang malam aja gitu supaya ada alasan buat tidak ikut arisan, ha ha ha.

Berbagai macam alasan lah kuberikan untuk menghibur diriku sendiri, dari mulai tidak ada manfaatnya tadi sampai ini kan bentukan Orde Baru, propaganda untuk mendomestifikasi ibu-ibu. Lho kan justru, Orde Baru sudah membuatkan ruangnya, kita ambil dong, dan kita belokkan misinya, daripada membuat ruang baru lagi, wong ini sudah ada. Jadi mengaku mengorganisir komunitas di kampung orang, tapi di kampung sendiri, cuma numpang hidup saja, dasar mbaknya aktivis ngehek ya, ha ha ha.

Justru karena itu, kan aku sudah aktif di kampung orang, ngga sempat lah kalau masih harus aktif di kampung sendiri juga, kan capek dong. Lagian kan bisa nitip, dan aku nitip dong ke ibu kontrakanku, selama 6 tahun, nitip terus, tidak pernah datang sekalipun, kebangetan yak. Tuh kan, ada saja terus alasannya, ha ha ha.

He he he kayak gitu juga tidak apa-apa sih, itu kan pilihan. Hanya saja kalau di pengalamanku pribadi, waktu itu aku sudah sering berpikir dan merasa, masa aku di sini numpang tinggal doang sih. Kan katanya harus think global act local.

Lagian kalau orang-orang seperti kita ini tidak mau memasuki ruang-ruang publik yang paling dekat dengan kita, nanti ruang-ruang publik itu akan dimasuki oleh kelompok-kelompok yang selama ini sering kita kritisi atau kita hujat karena perilakunya dan ideologinya, misalnya kelompok radikal, kelompok garis keras, kelompok intoleran, kelompok anti-pluralisme, dan lain-lain. Pokoknya kelompok-kelompok yang sering kita kata-katai karena gerakannya meresahkan kita.

Terus kita ngomel karena kok bisa sih mereka sudah masuk sampai ke kampung-kampung, ke masjid-masjid, ke sekolah-sekolah, ke kumpulan-kumpulan masyarakat yang lain. Ya bisa lah! Lha wong kita meninggalkan ruang-ruang publik itu, ya mereka yang ambil dong, gimana sih. Jangan protes lah, kita kan sibuk bekerja di ruang-ruang “besar”, jadilah mereka yang ngopeni ruang-ruang “kecil” tapi buanyak dan massif ini.

Jadi jangan heran kalau tiba-tiba gerakan mereka menjadi sangat massif dan besar, ya karena kerja-kerja pengorganisasian “kecil-kecil” tapi banyak di grass root di lingkungan yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka ini. Sementara para aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai yang sebaliknya sibuk “act global” dan juga act di media sosial, kayak aku, hi hi hi.

Akhirnya aku pun bertekad untuk terlibat di ruang-ruang publik paling dekat dengan tempat tinggalku ini. Aku mengambil momen waktu pindah rumah, soalnya di tempat tinggal yang lama sudah terlalu lama sih abainya, sehingga mau tiba-tiba aktif kan awkward ya dan malu, hahaha.

Jadi di tempat tinggal yang baru, since day 1 aku sudah percaya diri saja memperkenalkan diri sebagai warga baru dan langsung melibatkan diri di arisan-arisan PKK dan dasawisma ibu-ibu di kampung. Ya walaupun aku tidak kemudian langsung jadi pengurusnya, tapi setidaknya aku sebisa mungkin hadir setiap bulan, kecuali kalau memang benar-benar tidak bisa.

Menurutku, terlibat di acara-acara kampung seperti ini sangat bermanfaat sekali lho, walaupun seperti aku ini belum kemudian mengorganisir atau mengkampanyekan nilai-nilai baru atau menggagas kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Belum lah, berat, kan harus bertahap ya, hehehe. Paling tidak aku menjadi bagian dari ruang-ruang publik terkecil yang ada di lingkunganku dan tahu segala dinamika yang terjadi di tempat tinggalku sendiri.

Dan yang paling penting adalah aku jadi mengenal siapa-siapa saja tetanggaku, siapa-siapa saja yang setiap hari tinggal di sekeliling rumahku dan hidup bersama dalam satu lingkungan yang sama. Kepanasan bersama, kehujanan bersama, waktu banjir ya kebanjiran bersama, dan sama-sama mendapatkan berkah Tuhan bersama. Mereka juga jadi mengenal aku.

Walaupun mengingat sekian banyak nama mungkin susah dan butuh proses ya, tapi kalau wajah, kita akan gampang ingat. Kita jadi tahu wajah-wajah tetangga kita. Kita menjadi bagian dari komunitas yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual