post image
Diskusi literasi bersama generasi milenial, rutin diselenggarakan oleh Asian African Reading Club.
KOMENTAR

 "het heden ligt het verleden, in het nu wat worden zal” (sekarang ini ada karena kemarin dan esok ada karena hari ini). Salah satu puisi terindah dalam bentuk ikrar yang pernah dicanangkan oleh generasi muda bangsa kita adalah ‘Sumpah Pemuda’. Sumpah Pemuda juga merupakan puisi pemberontakan yang pertama di negeri ini, yang abadi dan menjadi penentu atas kehadiran kita, realitas kekinian kita.

Semangat Zaman

Kita perlu belajar dari generasi Angkatan '28, bagaimana mereka saat itu mengalami perbedaan pandangan tentang bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa nasional yang akan dijunjung bersama. Melalui pertukaran pemikiran yang sehat dan rasional, akhirnya semua peserta kongres menyepakati bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dengan alasan yang jernih dan argumentatif, antara lain karena dianggap egaliter, dapat berkembang dan telah ramai pula digunakan oleh para pedagang di nusantara.

Saat ini, perbedaan pandangan dan sikap politik tidak perlu lagi diperuncing di media sosial, yang hanya akan memperkeruh suasana kebangsaan. Demokrasi mensyaratkan kecerdasan dan kedewasaan para pihak. Semua orang berhak memilih dan memilki pandangan yang berbeda.

Pemaksaan akan suatu kehendak atau pemikiran kepada orang lain adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Generasi milenial tak boleh apolitis, tak boleh apatis. Tapi Fokus pada hal yang produktif lebih baik daripada debat kusir yang tak ada ujungnya.

Berdiskusilah dengan sehat dan bergizi, bukan dengan semangat untuk menang-kalah. Mengasah terus menerus kecakapan diri dan keberanian, jauh lebih penting daripada ribut tak menentu di medsos. Dalam sebuah kesempatan, penulis besar yang pernah dimiliki bangsa ini, Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan pesan untuk kaum muda Indonesia.

Ternyata hanya satu kata saja pesannya, yaitu: “Berani”. Ya, berani. Mungkin keberanian adalah penanda alami yang dimiliki kaum muda yang membedakannya dengan kaum tua, termasuk dalam memperjuangkan idealismenya. Dalam hal ini, benarlah apa yang dikatakan oleh Tan Malaka bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh kaum muda.

Memang ada zeitgeist (semangat zaman) yang tak lagi sama. Tapi pada sisi prinsip berbangsa dan bernegara tetap sama. Kita menginginkan bangsa dan negara yang benar-benar berdaulat di bidang politik, berdikari bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan, seperti yang didengungkan oleh presiden pertama kita, Soekarno.

Kita tak ingin generasi milenial menjadi melempem, tak berani menunjuk ‘Ini dadaku, mana dadamu?”. Tentu, semangat zaman sudah berubah dibandingkan pada tahun ’28, ’45, ’66, atau pun ’98. Tapi itu semua bukan alasan untuk tidak meningkatkan kapasitas diri, rendah hati untuk terus belajar, mengembangkan sikap nasionalisme dan altruis, serta berprestasi baik di kancah nasional maupun internasional.

Arus perkembangan teknologi dan informasi saat ini yang begitu masif dan canggih dapat dimanfaatkan generasi milenial untuk mengembangkan idealisme, minat dan bakatnya. Termasuk dalam jelajah ilmu pengetahuan yang begitu berlimpah melalui internet. Salah satu penanda semangat zaman saat ini dan kebutuhan di waktu yang akan datang adalah semakin pentingnya jejaring (networking) yang luas. Keberadaan medsos dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun dan memperluas jejaring generasi muda sehingga dapat lebih komunikatif, ekspresif dan produktif dalam berkarya.

Tantangan

Saat ini kaum muda, generasi milenial, dihadapkan pada tantangan yang lebih berat, yaitu menghadapi dirinya sendiri. Berperang melawan diri sendiri berarti berusaha dari hari ke hari untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Berperang melawan diri sendiri berarti terus berupaya memecahkan rekor prestasi dari hari kemarin. Berusaha terus untuk menjadi lebih baik, lebih cerdas, lebih bijak, lebih kreatif dan lebih berarti bagi orang banyak dan nusa bangsa. Inilah revolusi yang sebenar-benarnya. Inilah tantangan generasi milenial. Sebuah revolusi yang tak pernah usai, sebuah revolusi yang hakiki.

Revolusi ini memiliki daya abstraksi yang sangat tinggi, tapi sangat mendalam. Revolusi diri kaum muda, generasi milenial ini akan berlangsung sulit, sebab tidak ada musuh dari luar, melainkan dari dalam diri sendiri. Untuk itu diperlukan kemauan dan kemampuan untuk bisa bersikap objektif dalam menilai diri sendiri. Kaum muda kita, proses revolusinya tidak berlangsung berisik, tetapi letupan-letupan keberhasilannya yang akan berteriak nyaring.

Revolusi diri kaum muda Indonesia pada saatnya nanti akan bertemu momentum-momentum sejarahnya. Tapi seandainya momentum itu tak hadir, generasi muda yang melakukan revolusi diri dari hari ke hari tersebut, akan menciptakan momentumnya sendiri.

Kali ini tidak dengan bambu runcing dan moncong senjata, tetapi dengan ilmu pengetahuan, kearifan dan prestasinya. Generasi muda Indonesia itu adalah para ‘Garuda Muda’ yang akan mengepakkan sayap-sayapnya menjelajahi cakrawala peradaban nusantara dan dunia. Mari kita dukung dan wujudkan bersama.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual