post image
KOMENTAR

Dirilis bulan Mei tahun lalu, film Korea Selatan, “Parasite”, membuat kejutan pada ajang Academy Awards ke-92 yang diselenggarakan bulan Februari 2020 lalu.

Film yang disutradarai Bong Joon-ho dan dibintangi antara lain oleh Song Kang-ho, Kee Sun-kyun, Cho Yeo-jeong, dan Choi Woo-shik itu meraih predikat Best Picture, Best Director, Best Original Screeplay, dan Best International Feature Film.

Tidak saja di ajang Academy Awards, film garapan Barunson E&A yang didistribusikan CJ ENM itu pun memenangkan Golden Globe Award untuk kategori Best Foreign Language Film, juga BAFTA Awards untuk kategori Best Film Not in the English Language.

Sukses “Parasite” ini dianggap sebagai puncak dari perkembangan industri film dan drama Korea yang dalam dalam dua dekade terakhir memang terlihat begitu agresif.

Salah satu kunci keberhasilan industri film di negeri ginseng itu, menurut Dutabesar Republik Indonesia untuk Republik Korea, Umar Hadi, adalah peran serta aktif dan dukungan pemerintah yang sangat maksimal.

Dukungan yang diberikan itu melalui berbagai kebijakan yang memudahkan insan seni untuk berkreasi.

Pemerintah Korea Selatan memandang industri film sebagai bagian penting dari soft diplomasi dalam rangka membangun image positif Korea Selatan di dunia internasional yang dipercaya akan berdampak pada kerjasama ekonomi.

Pemerintah Korea Selatan secara sengaja dan berkesinambungan sejak era 1990an mengembangkan Hallyu atau Korean Wave ke segala arah dan melibatkan berbagai sektor, termasuk industri film nasional.

Dubes Umar Hadi menyampaikan pandangannya itu dalam diskusi virtual bertema “Memajukan Perfilman Indonesia, Mendengar Pengalaman Korea” yang diselenggarakan Unpaders Minggu siang (14/6).

Diskusi yang dipandu Founder Unpaders Irawati Hermawan ini juga menghadirkan sineas senior Dedy Mizwar dan sineas-sineas muda alumni Universitas Padjadjaran (Unpad) seperti penulis skenario “The Tarix Jabrix” Hilman Mutasi , sutradara “Love for Sale” Andi Bachtiar Yusuf, penulis skenario “Para Pencari Tuhan” Wiraputra Basri, dan produser serta penulis skenario “Garuda di Dadaku” Salman Aristo.

Diskusi juga menghadirkan bintang film nasional Raline Shah dan bintang drama Korea asal Indonesia, Yannie Kim.

Menurut Dubes Umar Hadi yang alumni dari Hubungan Internasional Fisip Unpad, pemerintah Korea Selatan juga memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut membangun dan membesarkan industri film nasional.

Ia mencontohkan CJ Group yang awalnya bergerak di sektor makanan, pada 1980an mulai mengembangkan anak perusahaan CJ ENM (Entertainment and Retail) yang bergerak di bidang produksi film dan CG CGV yang bergerak di jaringan bioskop.

“Pihak swasta besar sangat mendukung, sehingga rumah-rumah produksi kecil pun bisa hidup terus," ujarnya.

Dukungan pemerintah Korea Selatan terhadap industri film nasional juga diperlihatkan di era pandemi Covid-19 sekarang ini. Di saat indutri film seakan mati suri, pemerintah Korea Selatan memberikan insentif sebesar 14 juta dolar AS, baik melalui kupon yang dapat digunaan di bioskop, maupun dalam bentuk pelatihan dan produksi film.

Dilema Film Nasional Indonesia

Sineas senior Dedy Mizwar yang menjadi pembicara berikutnya menguraikan berbagai dilema yang dihadapi industri film di tanah air. Dapat disimpulkan, dukungan yang diberikan pemerintah Indonesia terhadap industri layar perak di dalam negeri sebesar dukungan yang diberikan pemerintah Korea Selatan kepada industri film di sana.

Di era 1990an ada Dewan Film Nasional yang dipimpin Menteri Penerangan dan dibantu ketua harian yang berasal dari insan perfilman yang sangat mapan seperti Asrul Sani dan Rosihan Anwar.

Keberadaan Dewan ini diganti oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional yang hanya menampung pertimbangan dan pemikiran untuk disampaikan kepada menteri, tanpa kewenangan menyalurkan insentif seperti yang dimiliki Dewan Film Nasional.

Kelahiran UU 33/209 tentang Perfilman, masih menurut Dedy Mizwar, semakin mengecilkan peran lembaga perfilman. Badan Perfilman Indonesia yang dibentuk melalui UU itu tidak memiliki peran dan kewenangan apa pun, dan hanya menjadi semacam paguyuban.

“Gagasan lama kita tentang film Indonesia hilang semua. Mati atau hidup terserah kemampuan masing-masing produser, dan lain sebagainya,” ujar Dedy Mizwar.

Persoalan juga terjadi dalam hal distribusi film. Misalnya, tidak ada lagi aturan tentang distribusi dan pemutaran film di bioskop.

“Sekarang lebih didasarkan pada kedekatan pada pemilik bioskop,” ujarnya.

Dedy Mizwar mengatakan dirinya setuju dengan apa yang disampaikan Dubes Umar Hadi, bahwa film adalah ujung tombak untuk mengenalkan Indonesia dan produk-produk lain yang dimiliki Indonesia ke dunia.

“Ini yang dapat mengenalkan Indonesia sebagai diplomasi kebudayaan ke dunia,” ujarnya lagi.

Mengenai peningkatan mutu insan film, Dedy Mizwar menambahkan, ketika Umar Kayam menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, pemerintah memberikan banyak beasiswa untuk insan film. Namun kini hal itu sudah tidak ada lagi.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual