post image
Para gadis tidak perlu menunggu untuk diselamatkan. Mereka bisa menyelamatkan diri mereka sendiri dengan menempuh pendidikan yang memadai, mendapatkan pekerjaan, serta mengejar passion mereka.
KOMENTAR

Siapa yang masa kecil impiannya adalah bertemu pangeran tampan, kaya, penyayang, baik hati, romantis, dan humoris. Pangeran yang menyelamatkan kita dari lubang penderitaan dan membawa kita ke istananya, and then we will live happily ever after.

Aku salah satunya, setidaknya ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Benar-benar percaya bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah pernikahan. Soalnya semua dongeng, film, buku cerita, komik, dan semuanya mengatakan demikian. Tamat ketika sudah terjadi pernikahan, dengan di akhiri kalimat, “and they will live happily ever after”.

Masalahnya jarang sekali gitu ya, dongeng, film, buku cerita, dan komik zaman kita kecil dulu yang menceritakan what happens after we live happily ever after, what happens since day 1 after the wedding, kan tidak ada tuh, atau jarang.

Dulu sih, zaman kita kecil, kalau sekarang sudah banyak, sebut saja salah satu film favoritku Revolutinary Road, Blue Valentine, atau yang kemarin aku tonton, Instant Family. Tapi, dulu ketika waktu kecil tidak ada mungkin film-film semacam itu, atau sebenarnya ada, tapi kita tidak dapat akses ke sana.

Akses yang kita dapat ya ke dongeng, buku, film di mana perempuan should get rescued. Sebut saja dongeng-dongeng populer semacam Cinderella, Putri Tidur, Putri Salju, dan hampir semua dongeng serta kisah-kisah di buku atau film lain yang kisahnya selalu tentang perempuan yang harus selalu dilindungi, dibantu, diselamatkan, dan diubah hidupnya.

Sebaliknya, dalam dongeng atau cerita yang sama, laki-laki harus selalu melindungi, membantu, menyelamatkan, dan mengubah kehidupan. Ya jelas saja, banyak perempuan yang hidupnya menunggu untuk diselamatkan laki-laki, dan banyak laki-laki yang bersaing untuk menjadi pahlawan yang menyelamatkan perempuan (kalau perlu banyak perempuan), lha wong dongeng, bacaan, dan tontonannya sama, klop dah sudah.

Sekarang baru aku berpikir bahayanya dongeng, bacaan, dan tontonan semacam itu yang semakin melanggengkan pembentukan pandangan gender tradisional ini. Bayangkan apa yang akan terjadi ketika hal semacam ini yang selalu dikonsumsi oleh anak-anak.

Anak perempuan akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang lebih rendah dan merasa tidak akan bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa dibantu oleh orang lain, ditambah menunggu untuk diselamatkan tadi.

Sementara anak laki-laki akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi, hingga berpotensi untuk tergelincir menjadi mengontrol atau menguasai, ditambah persaingan untuk menjadi yang paling pahlawan.

Kemudian, pola pikir seorang anak perempuan menganggap bahwa seluruh cerita hidupnya akan berakhir bahagia setelah momen pernikahan di mana narator mengatakan, “…and they will live happily ever after”. Sementara pada anak lelaki, ada tuntutan menjadi sukses agar bisa menyelamatkan dan bring happily ever after kind of life bagi para perempuan, sehingga tidak ada sedikit pun ruang untuk kegagalan.

Padahal kenyataannya, para perempuan tidak perlu menunggu untuk diselamatkan kok. Mereka bisa menyelamatkan diri mereka sendiri dengan menempuh pendidikan, akses informasi dan pekerjaan yang diinginkan, mengejar passion, menjadi pengusaha, serta mencintai diri mereka sendiri dengan seutuhnya.

Nah setelah itu, kalau mau, mereka bisa mencari laki-laki baik yang se visi dengan mereka, mengamini nilai-nilai yang sama, menghargai dan mencintai mereka sepenuh hati untuk berbagi kehidupan, dan membangun peradaban.

Para laki-laki juga tidak perlu repot-repot harus menyelamatkan kehidupan seseorang dan menaruh beban membahagiakan keluarga serta mengubah kehidupan hanya di pundaknya saja. Mereka tetap manusia biasa ya bukan superhuman. Para laki-laki ini bisa mencari gadis yang sevisi dan mengamini nilai-nilai yang sama, untuk bahu-membahu berbagi beban dan tanggung jawab serta berjuang bersama membangun keluarga sekaligus membangun kehidupan atau peradaban yang lebih baik.

Jadi bersama-sama dan dibagi, bukan hanya di pundak laki-laki saja tanggung jawab itu, dan otomatis kekuasaannya pun juga harus dibagi (ini biasanya yang susah).

Setelah menikah pun, apakah akan otomatis they will live happily ever after? Ya engga lah, kalau tidak diusahakan dan diperjuangkan bersama. Live happily ever after will never happen unless we work on that and we fight for that, everyday! Yang sudah diusahakan dan diperjuangkan saja belum tentu terjadi. Bisa jadi kan ada hambatan-hambatan yang berada di luar kontrol kita.

Dan kalaupun ada perempuan atau laki-laki yang belum menikah atau memang memutuskan untuk tidak akan menikah, apakah mereka tidak akan bisa live happily ever after? Ya tetap bisa lah! Tanpa pernikahan pun orang akan tetap bisa live happily ever after, tetap akan bisa bermanfaat, dan tetap bisa membangun peradaban.

Begitu juga yang pernah menikah dan kemudian memutuskan untuk tidak menikah lagi. Semua orang berkesempatan untuk live happily ever after, menjadi bermanfaat, dan membangun peradaban dunia ini, apapun pilihan hidup yang mereka ambil.

Jangan percaya pada dongeng, bacaan, tontonan yang hanya memberi satu pilihan jalur saja untuk live happily ever after. Sudah cuman satu jalur, bias gender pula, mampus. Jadi, ayo dong para penulis dongeng atau buku cerita anak dan para pembuat film anak untuk menyediakan hal yang tidak seperti itu lagi.

Dongeng, bacaan, dan tontonan yang bisa meng-encourage baik anak perempuan maupun anak laki-laki untuk berdiri di kakinya sendiri, menyelamatkan dirinya sendiri, dan berjuang dengan usahanya sendiri untuk menjadi bermanfaat dan menyumbang hal baik untuk peradaban dunia. Terpenting tentu saja saling berbagi cinta yang penuh penghargaan dan kerja sama.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual