post image
Ilustrasi demonstrasi mahasiswa
KOMENTAR

Gerakan mahasiswa tahun 77/78 bukanlah gerakan mahasiswa pertama yang mengkritik pemerintahan Soeharto. Itu merupakan bagian berkelanjutan dari gerakan mahasiswa tahun 1974 yang juga mengoreksi kesalahan pemerintahan Soeharto.

Kendati demikian, tentu kedua gerakan tersebut bisa dibedakan, tetapi akar penyebabnya tetap sama yaitu ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, dan kemudian disuarakan serta diperjuangkan oleh mahasiswa. Jika gerakan 74 dinilai cenderung anarkis dan dipicu oleh persaingan ekonomi antara negara-negara kapitalis yang ingin menguasai pasar di Indonesia.

Ditandai dengan protes terhadap kedatangan Perdana Menteri Tanaka ke Jakarta pada bulan Januari 1974. Yaitu menolak investasi Jepang di Indonesia. Gerakan mahasiswa 77/78 lebih kepada koreksi menyeluruh dari praktik politik kekuasaan yang dirasakan sudah cenderung otoriter.

Gerakan mahasiswa 77/78 adalah gerakan yang sumber kekuatannya adalah Aktivis Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa (DM/SM) dari berbagai perguruan tinggi dan akademi se Indonesia, baik PT atau Akademi Negeri maupun swasta.

Karena itu kekuatan mereka datang dari kampunsnya masing-masing dan pada saat itu kehidupan demokrasi kampus berkembang sesuai dinamika. Dari dinamika kampus, bisa dikatakan lahirlah calon-calon pemimpin bangsa yang secara selektif mempunyai pengalaman berorganisasi dan berpolitik.

Kampus sebagai Kaderisasi Pemimpin

Di Indonesia, kampus atau organisasi mahasiswa sebagai wadah kaderisasi pemimpin sudah berlangsung lama. Bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Dikenal sebagai Sekolah Kedokteran bagi pribumi, Stovia melahirkan pemikir pejuang kemerdekaan, menjadi kampus perjuangan pertama di Indonesia.

Dari kampus ini lahir para pemimpin bangsa, dengan mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Momentum bagi pergerakan kebangkitan nasional. Peristiwa 1966 penggulingan kekuasaan Soekarno ke Soeharto, juga diwarnai dengan ikut sertanya kampus-kampus dari berbagai daerah. Beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ikut andil dalam upaya mengganti Orde Lama menjadi Orde Baru. Yang kemudian sebagian aktivis di zaman Orde Baru ikut mewarnai serta memimpin arah perbangunan nasional.

Pergerakan mahasiswa menggunakan kampus sebagai basis pergerakan untuk menumbangkan rezim Soeharto sempat terhenti setelah peristiwa 77/78. Sebagian ketua dewan mahasiswa se Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, menyusul penolakan terhadap kepemimpinan Soeharto yang otoriter, membungkam mahasiswa dan tokoh-tokoh politik saat itu.

Melalui penerapan konsep NKK/BKK, dengan membekukan kegiatan seluruh DM/SM, maka masa kebebasan mimbar terhenti dengan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus. Dalam arti lain, meniadakan kegiatan politik praktis di kampus, memberikan ancaman kepada rektor dan mahasiswa untuk tidak mengijinkan segala aktivitas kemahasiswaan yang mengarah pada politik praktis.

Keadaan ini walaupun mendapat perlawanan dari para aktivis kampus, dengan melakukan protes ke DPR, kekuatan rezim Soeharto bukan semakin memudar, tetapi semakin menguat. Sementara para aktivis kampus terutama yang sempat mendekam di penjara dan yang tidak, mengalami pembatasan-pembatasan termasuk dalam seleksi penerimaan pegawai negeri atau dosen, dengan seleksi "litsus" yang memblok para aktivis.

Selanjutnya, kehidupan kampus menjadi kehidupan normal sebagai yang dikehendaki penguasa, tanpa hingar-bingar politik praktis. Para mahasiswa berlomba menyelesaikan studinya tepat waktu lalu memasuki pasar kerja. Kehidupan politik sepenuhnya dikuasai oleh militer dengan konsep dwi fungsinya.

Sehingga jabatan-jabatan publik didominasi oleh militer dan teknokrat kampus. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai masa kelam bagi aktivis gerakan mahasiswa 77/78. Hampir bisa dikatakan mereka tidak mendapat peran sama sekali dalam pemerintahan rezim Soeharto. 20 tahun kemudian yaitu tahun 1998, terjadinya pergantian rezim Orde Baru ke Orde Reformasi.

Kegamangan Aktivis 77/78

Kegamangan aktivis 77/78 untuk memanfaatkan momentum reformasi tampak dari enggannya sebagian besar aktivis untuk masuk. Walaupun sebagian ikut andil menumbangkan rezim Orde Baru, tetapi sebagai yang lahir dari politik kampus, suka atau tidak suka menjadi ujung tombak reformasi adalah mahasiswa kampus angkatan 1998, yang secara kasat mata pada peristiwa Mei 1998, menjadi korban dari keganasan aparat.

Mereka yang berjibaku siang malam menggedor pertahanan aparat, akhirnya mampu menjebol dan menguasai Gedung DPR. Bersama kaum intelektual dan profesional lainnya memaksa MPR untuk menurunkan Suharto. Dan terjadilah permintaan berhenti Suharto sebagai presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual