post image
Pancasila dan JKN
KOMENTAR

Pancasila menurut Yudi Latif telah mengalami proses degeneratif karena terjerembab dalam lautan verbalisme alih-alih teroperasionalisasikan. Verbalisme menyiratkan kebingungan, kegamangan tetapi bisa juga keengganan.

Dulu, umpamanya, terdapat slogan Ekonomi Pancasila, Demokrasi Pancasila, Pers Pancasila, dan bahkan Sepakbola Pancasila. Alih-alih menjelaskan, penambahan frasa Pancasila lebih seringkali mengaburkan. Bahkan, merasionalisasi keganjilan perilaku sebagaimana terwakili pada idiom ‘Sepakbola Pancasila’ yang membuat dua kesebelasan yang bertanding menjadi pemenang semua.

Pancasila menjadi sulit teroperasionalisasi mungkin juga karena pendefinisiannya yang serba negatif. Mahbub Junaedi dalam sebuah tulisanya pernah menyentil hal ini. “Pancasila disebut bukan kapitalisme, bukan sosialisme. Jangan-jangan, bukan apa-apa,” tulisnya.

Apakah sedemikian susah menemukan laku Pancasila dalam kehidupan kebangsaan hari ini?

Sebenarnya tidak juga. Saat ini ada satu program yang sangat Pancasila. Jaminan Kesehatan Nasional namanya. Publik lebih mengenal lembaga penyelenggaranya: BPJS.

Salah satu prinsip pokok JKN adalah kegotongroyongan.

Menurut prinsip ini, setiap warga negara wajib menjadi peserta JKN (baca: BPJS) dan membayar iuran dalam jumlah tertentu. Iuran ini berasal dari individu (Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja), patungan antara pekerja dan pemberi kerja (Peserta Penerima Upah), dan dibayarkan oleh APBN/APBD (Penerima Bantuan Iuran).

Kegotongroyongan dalam JKN bermakna “yang kaya membantu yang miskin, yang sehat membantu yang sakit”. Berdasarkan UU, pemerintah juga dimandatkan ikut bergotongroyong jika pemasukan iuran dari peserta tak mencukupi.

Kegotongroyongan, kata Bung Karno, merupakan saripati Pancasila ketika lima silanya diperas sedemikian rupa. Dengan begitu, secara logis kita semua ada dalam satu barisan yang sama untuk memastikan JKN berjalan, berterima, dan berkelanjutan. Karena inilah etalase pengamalan Pancasila yang kontekstual dan juga dibutuhkan masyarakat.

Faktualnya, kita tak seiring sejalan. Sebagian dari kita lupa atau mengabaikan esensi dari JKN itu sendiri. Dalam setiap pembicaraan keuangan JKN/BPJS, misalnya, pemerintah dan berbagai pihak lebih memilih istilah defisit. Defisit tak hanya bicara soal rugi, tetapi ada pengandaian bahwa yang normal itu adalah untung. Padahal, JKN itu adalah usaha non-profit.

Ada istilah lain yang sudah lama ditawarkan sebagai pengganti kata defisit: kurang dana. Tetapi, sepertinya para pihak, termasuk pemerintah, enggan menggunakannya. Kurang dana seperti mengandaikan ada kewajiban pemerintah bergotong royong untuk menutupi kekurangannya. Sebaliknya, defisit bicara soal ketidakmampuan pengelola menghasilkan untung. Bagi badan usaha, setiap defisit solusinya selalu seputar: efisiensi, dijual atau ditutup.

Itulah skenario yang akan terjadi ke depannya. Dari berbagai rencana pembenahan, menyempil satu klausul untuk merasionalisasi layanan JKN. Saat ini layanan JKN dijalankan dengan prinsip ekuitas: pelayanan semesta tak membedakan kelas atau tipe peserta. Semua layanan kesehatan normanya diberikan kecuali terkait pengobatan untuk tujuan kecantikan atau merusak diri sendiri (misalnya akibat mau bunuh diri).

Ke depan, ada rencana layanan JKN dibatasi pada layanan kebutuhan dasar kesehatan. Ini artinya, layanan JKN akan setaraf dengan layanan yang bisa diterima warga di tingkat fasilitas kesehatan pertama atau puskesmas. Dengan kata lain, JKN akan dibonsai.

Pembonsaian mungkin akan menyelamatkan keuangan BPJS. Namun, pada saat yang sama, kita tengah menyia-nyiakan kesempatan besar untuk mengkreasi ‘flag carrier’ bagi Pancasila.

Yang perlu digarisbawahi, implementasi program JKN saat ini tentu saja banyak kekurangannya di sana-sini. Pembenahan perlu dilakukan, tetapi jurus merasionalisasi layanan seharusnya bukan pilihan.

Rasionalisasi bertumpu pada orientasi cara kerja institusi privat. Pembenahan dan peningkatan kapasitas berorientasi pada kepentingan publik. Sudah menjadi tugas pemerintah berpikir secara cerdas dan tak cepat lelah di bawah tekanan kuasa modal.

Selamat Hari Lahirnya Pancasila, sobat!

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual