post image
Ilustrasi, Gunung Padang di Cianjur/Net
KOMENTAR

Perdaban yang terlalu sibuk, letih, menua, layu, hanya menyisakan sedikit untuk anak cucu. Karena tak ada lagi air jernih kehidupan untuk berbagi.

Semua mengoyak-ngoyak hati: mata air yang tercemari, udara nan penuh asap, gundulnya hutan, sungai yg kering, laut menghitam.

Tiada lagi tawa yang menghias, berganti dengan alis berkerut, kemarahan yang semakin jadi. Lalu kita tergagap, karena bangku kuliah menjadi dikte atas teks yang telah layu. Irrelevant. Terperangah kita.

Bagaimana manusia bisa menjadi serigala, tanpa harus menunggu purnama?

Mulut menganga, mengapa semua mikir dunia, bukankah hanya sementara? Itulah mengapa suka duka kerap silih berganti. Sebab hanyalah tentang kesementaraan. This too shall pass.

Hidup yang singkat ini, waktu yang bergegas sangat cepat ini, bak menumpang minum kopi diselingi senda gurau saja. Untuk kemudian beralih kepada alam yang sesungguhnya, yang abadi. Dibanding kemelekatan, perubahan lebih abadi.

Jika saat ini peradaban tak berubah ke arah yang lebih baik, maka bencana tak terelak. Tak kan mampu kita menolak. Terlambat.

Tak kan ada kata yang dapat menyembuhkan luka yang tertabur pada sekujur tubuh peradaban. Hanyalah doa yang bisa. Doa-doa jernih yang hadir dari kesungguhan hati dan keterpasrahan. Perdaban yang layu ini, perlu tangan-tangan yang sabar dan hati yang lembut untuk merawatnya kembali.

Tangan yang sabar untuk menggunting daun layunya, sabar menyirami air ke sekujur batang akarnya. Tak langsung berbunga, tentu saja. Untuk tiap hal ada saatnya. Untuk tiap bunga ada musimnya.

Satu yang jelas, jika tak mulai ditanam dan dirawat, maka tak kan berbungalah ia. Kita, punya tangan untuk itu.

Mulailah bekerja untuk membangun dan merawat peradaban. Yang humanis. Yang penuh cinta.

Meski untuk itu kita harus menempuh jalan yang sepi.

KOMENTAR ANDA

Senandung Algoritma

Sebelumnya

Artikel Rumentang Siang