post image
KOMENTAR

Batuk ataupun bersin adalah proses biologis yang biasa. Ia menjadi tanda alamiah perlawanan tubuh pada makhluk lain yang dianggap asing. Sebelum masa pandemi, batuk atau bersin di tempat umum tanpa menutup mulut dan hidung adalah hal lumrah, satu dua orang akan menoleh dengan pandangan tidak senang akan tetapi tidak menjadi persoalan panjang. Tapi sikap kita berbeda sekarang. Kita menjadi lebih kesal jika ada orang batuk dan bersin sembarangan tanpa penutup. Sesuatu yang dulu normal tapi sebenarnya berbahaya, sekarang kita rasakan betul bahayanya sehingga tidak kita anggap lagi sebagai normal.

Mencuci tangan, memakai hand sanitizer, menutup mulut dan hidung saat batuk dan bersin, menjadi normal yang baru. Suka tidak suka kita mendisiplinkan tubuh kita untuk terbiasa dengan yang demikian. Sebelum pandemi tentu ada orang-orang yang sudah memiliki kebiasaan yang sama. Tapi pandemi mengajak kita untuk menjadikannya sebagai normal yang baru. Yang diterima seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal kelas.

Sebelum pandemi, satu dua orang terbiasa menggunakan masker untuk alasan kesehatan. Akan tetapi masker dianggap tidak sopan jika digunakan dalam ruangan kecuali jika seseorang benar-benar sakit. Kita pakai masker dan harus menjelaskan bahwa kita sedang flu dan tidak mau orang lain tertular. Tapi selama pandemi dan masa karantina, masker dipakai kapanpun dimanapun tanpa perlu penjelasan. Tidak aneh kita melihat setiap orang menggunakan masker. Di jalan, di pusat perbelanjaan, bahkan di dalam rumah. Malah menjadi aneh jika orang tidak pakai masker. Masker adalah normal yang baru.

Kita memiliki normal yang baru. Pandemi memaksa kita mengubah budaya. Budaya batuk, bersin, berpakaian, serta berinteraksi dengan orang lain. Ia bukan hanya lahir dari respon manusia atas peristiwa alam, tapi juga dipromosikan oleh institusi negara melalui berbagai regulasi dan program untuk penormalan budaya baru ini. Satu dua orang masih akan resisten. Budaya baru tentu tidak selalu disukai. Masih akan panjang menjadikannya sebagai budaya, tapi setidaknya menganggapnya sebagai new-normal adalah tahap menuju kesana.

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Artikel Aktual