post image
KOMENTAR

Sebagai orang yang lahir dari keluarga sederhana, dengan orangtua yang masuk masa pensiun, tentu untuk melakukan perjalanan keluar negeri jauh dari impian.

Berpikirpun tidak, kecuali mungkin sebagai muslim bercita-cita kelak suatu saat bisa menjalankan ibadah haji.

Namun demikian, usaha untuk menguasai bahasa Inggris dijalani sejak masih sekolah di tingkat SMA, kebetulan SMAnya di SMA Negeri V, Jalan Budi Utomo, Jakarta masuk sekolah siang.

Jadi paginya ikut kursus bahasa Inggris di daerah Gambir, baru setelah itu masuk sekolah. Lepas SMA, kuliah di Fakultas Hukum Unpad, Bandung tahun 1975, juga ikut kursus bahasa Inggris dengan kawan sesama Fakultas, di perpustakaan Unpad.

Pernah bekerja di LBH Bandung, sebagai Kepala Divisi Non Litigasi antara tahun 1982 sampai dengan 1984, juga diadakan kursus bahasa Inggris setelah jam kantor, bersama teman-teman sesama Lawyer LBH.

Walaupun tidak mencita-citakan,tapi ikhtiar bisa keluar negeri selalu di usahakan dengan belajar. Minimal bisa membaca text book dan berusaha mengerti artinya.

Sampai mengusahakan melamar mendapat green card dan menjadi local staf KBRI di Luar Negeri.

Akhirnya Masa itu Tiba

Seingat saya kepergian ke luar negeri itu tahun 1996, ketika bekerja di PT Krakatau Steel, Cilegon, kepergian pertama yaitu ke Singapura.

Ceritanya sebagai in house lawyer di perusahaan, ditunjuk menjadi anggota tim Go Publik, urusan hukum.

Perjalanan itu waktu ada undangan seminar dari HHP konsultan hukum pasar modal yang menangani legal audit di perusahaan.

Berangkat kami tim hukum empat orang. Terus terang ini bukan paspor pertama yang saya miliki. Paspor pertama pernah dibuat semasa masih bekerja di PT Cold Rolling Mill Indonesia Utama, waktu ada peluang dikirim ke luar negeri. Tapi entah kenapa, setiap usulan terganjal terus. Akhirnya paspornya kadaluarsa.

Dan begitu PT CRMIU merger ke dalam PT Krakatau Steel, barulah peluang terbuka kembali.

Tahun 1996 akhirnya bisa menginjakkan kaki di Singapura. Ada keunikan yang terjadi,kita bilangnya "baluweng", yaitu saat waktu jeda saya berdua dengan kawan yang juga baru pertama kali ke luar negeri, berusaha jalan-jalan ke Djohor, Malaysia.

Naik kereta api dari Singapura ke Djohor, tiba di perbatasan naik bus, menuju Djohor, jaraknya tidak terlampau jauh, bisa ditempuh jalan kaki.

Tiba di gate, ada pemeriksaan imigrasi dan cap paspor. Tiba-tiba teman saya ditarik ke dalam ruangan, kemudian dompetnya diambil, diperiksa uangnya.

Setelah ditanya ini itu lolos, boleh masuk Djohor. Setelah putar-putar kota di Djohor, kita putuskan balik pulang ke Singapura, masuk lagi gate pemeriksaan.

Setelah selesai, kita ikut antri mau naik bus, tiba-tiba teman saya bilang mau lihat-lihat dulu kesana.

Tunggu punya tunggu,teman tsb tidak muncul, sedangkan antrian bus sudah tidak ada penumpang lagi yang ditunggu. Bergeraklah bus menuju perbatasan, hari pun sudah malam, kira-kira jam 23.00 waktu Singapura.

Dalam perjalanan saya berharap bertemu teman itu di Stasiun kereta, ternyata tidak ada. Saya pun naik kereta karena hari sudah malam, dalam pikiran berkecamuk, apakah teman tersebut ditahan imigrasi, atau tersesat, atau diculik.

Bagaimana nanti dengan keluarganya.

Oh ya, teman tersebut tidak punya handphone, jadi tidak mudah menghubunginya.

Sesampainya di hotel, saya bertemu dengan dua teman lainnya, dan bertanya apakah teman itu sudah sampai di hotel.

Ternyata belum. Waswas tentu meliputi perasaan kami bertiga. Tidak lama yang bersangkutan muncul, sambil pucat mukanya.

Darimana tadi?

Ternyata dia ikut orang-orang jalan kaki di perbatasan itu tanpa bilang dan baru naik kereta kemudian. Baluweng (artinya kira-kira keadaan yang membingungkan) yang sangat berkesan sampai puluhan tahun kemudian.

Kesulitan Baluweng Kedua

Setahun kemudian tepatnya bulan Oktober 1997, mendapat kesempatan kursus pasar modal di New York, Amerika selama kurang lebih tiga minggu waktunya.

Berangkat dari Jakarta dengan pesawat Garuda, dan singkat cerita sampai di NYC hari Sabtu siang.

Kebetulan hotelnya cukup jauh dengan tempat kursus. Diputuskan keesokan harinya yaitu hari Minggu survei lokasi kursus.

Minggu pagi kami naik bus. Begitu naik ternyata untuk duduk supir bus minta kami membayar dengan cara memasukkan koin uang logam sejumlah tertentu.

Kami main lihat-lihatan karena memang tidak siap bawa uang recehan. Sambil bingung dan terpaksa bilang tidak punya koin.

Untungnya di bus itu banyak orang yang mungkin mau jalan-jalan, sehingga ada beberapa yang membantu membayari dengan memberi koin. Alhamdulillah selamat.

Dan sejak saat itu selalu siap sedia uang koin untuk naik turun bus dalam kota.

Kesulitan Baluweng Ketiga

Setelah selesai kursus,sengaja hari terakhir dari NYC mampir dulu ke San Fransisco (SF) nginap di rumah kakak ipar.

Dengan tujuan mau silahturahim dan jalan-jalan diantaranya ke penjara Alcatraz yang terkenal itu.

Setelah puas selama dua hari di SF tiba saat pulang ke Indonesia, dengan terlebih dahulu melalui jalan dari dari SF ke Los Angeles dengan naik bus Greyhound.

Sengaja mengambil perjalanan malam hari agar sampai di Los Angeles pagi hari.

Tiba di terminal bus SF pada saat mau check in ternyata tiket bus yang sudah dipesan jauh hari sebelumnya tidak ditemukan.

Bongkar koper tidak ada juga. Nyerah dan terpaksa beli tiket lagi.

Petugas loket bilang jika nanti tiketnya ditemukan maka bisa direimburse tinggal dikirim buktinya.

Saat itu tidak terpikir terselip dimana tiket tersebut yang penting bisa berangkat malam itu.

Singkat cerita, setelah tiba di Indonesia,ternyata tiket terselip di buku, dan bukunya dimasukan ke dalam bundel buku-buku seminar.

Tiket tersebut dikirim ke alamat family, dan alhamdulillah diganti tanpa potongan.

KOMENTAR ANDA

Senandung Algoritma

Sebelumnya

Artikel Rumentang Siang