post image
KOMENTAR

“Nah, ini dia orangnya. Jebolan Universitas Pasti Doktor,” seru tuan rumah bahkan ketika pantat saya belum mendarat sempurna di kursi.

Saya lihat para terundang lain terkekeh-kekeh. Seorang yang saya kenal sealmamater bahkan  terbahak-bahak bak baru saja mendengar lelucon terhebat tahun ini.

Eh, njir, maneh pan barudak Unpad oge,” kata saya sembari pura-pura mendelik ke arahnya.

Teman saya ini malah makin keras tawanya. ”Sori, bro. Ane mah  yellow jacket,” jawab dia. Dan, dia untuk sebagian benar. Strata 2-nya di kampus itu. Sudah bisa ngaku alumni. Sudah juga bisa ikut milih waktu pemilihan ketua alumni.

Plesetan Universitas Pasti Doktor tergolong lawas.

Meski begitu, entah kenapa semua kenalan saya  tetap tertawa-tawa begitu mendengarnya. Saya lihat ada rasa puas bermekaran di wajah mereka.

Semua? Ah, tidak juga. Teman saya yang jungkir balik mengambil doktor di Unpad merasa jengkel. Merasa terhina. Merasa dipersamakan dengan para pemburu gelar belaka.

“Ini manajemen Unpad kok ngga bereaksi ya? Apa mau dikenal seperti sebuah universitas swasta di Bandung yang lulusannya tak akan diterima di IPTN?”gerutunya (ketauan umurnya ya, teman saya ini).

Teman saya menyoal reputasi.

Jika meminjam Corporate Reputation Quotient-nya Fombrun, plesetan ini menyenggol  dimensi product/service dan emotional appeal. Yang pertama terkait persepsi kualitas, yang terakhir berkaitan dengan perasaan, rasa hormat dan kepercayaan pada institusi.

Reputasi terbangun bata demi bata dalam lintasan waktu yang panjang. Sialnya, reputasi itu mudah tergores dan bahkan pecah berkeping-keping dalam hitungan hari. Penyebabnya bisa karena perilaku orang dalam (mal-praktik). Bisa juga karena ‘diterpedo’ pihak lain.Lantaran itu, institusi disarankan menabung reputasi.  Jika terjadi sesuatu yang mencederai reputasi, ada bantalan yang menyanggahnya. Ibarat sedang jatuh, nggak terlalu sakit rasanya.

Tapi, apa ya soal plesetan tersebut benar-benar melukai reputasi Unpad? Itu soal yang bisa diperdebatkan 2 x 24 jam tanpa konklusi yang memuaskan meski sudah lapor pak RT sekalipun.

Yang menarik, plesetan itu di sebagian kalangan tetap faktual.

Tetap jadi ganjalan bagi almunus seperti tipe teman saya tadi. Atau juga tetap asyik bagi mereka yang gemar mengolok-olok koleganya yang jebolan Unpad.  

Padahal, dibandingkan ketika kali pertama plesetan itu beredar, ada banyak perubahan sudah terjadi. Contoh terbaru, peringkat Unpad menurut The Times Higher Education Impact Rangkings 2020 mengalami kenaikan dari sebelumnya 301+ dunia menjadi di posisi 101-200. Secara nasional, peringkatnya naik di urutan 4 dari sebelumnya urutan 6. Kurang keren apalagi, coba? Tapi, ya begitulah. Plesetan singkatan Unpad yang satu ini rupanya tak lekang oleh waktu.  

Yang lumayan baru, anak-anak di twiter, punya versi yang lebih jenaka. Mulanya sebuah twit:

“Bukannya undip dan unpad itu sama ya? undip (universitas dipenogoro), unpad (universitas pangeran dipenogoro)”

Twit ini langsung disamber para nitizen yang budiman, tentu dengan semangat untuk beriang gembira.

“Undip: Universitas di Padjadjaran. Unpad: Universitas Pangeran Dipenogoro. Itu yang bener” (@andrinovedio)

“Ye kebalik maleeh. Unpad: Universitas Padjadjaran. Undip: Universitas Dipati Ukur” (@aharyops)

“UNDIP: Universitas di Padang. UNPAD: Universitas Padang. Sok tambahin lg wqwq” (@kucingrumahannn)

Dari hasil ngechat, ada teman yang bilang, “Unpad = Universitas Pangkalan Damri”. Ini sih mewakili dia banget yang secara proporsi waktu sepertinya lebih lama nongkrong di pangdam daripada di lingkungan kampus semasa berkuliah di Unpad.

Teman saya yang kuliah di sebuah kampus swasta di Bandung punya versinya sendiri. Bagi dia,  “Unpad = Universitas Pasundan Dua”.  

Nah, bagaimana dengan versimu, luuur?

KOMENTAR ANDA

Irawati Hermawan: Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sangat Layak Jadi Pahlawan Nasional

Sebelumnya

Menlu Retno: Bagi Saya Prof. Mochtar Kusumaatmadja Sudah Seorang Pahlawan

Berikutnya

Baca Juga

Artikel Aktual